Arti Sebuah Nama

44 2 0
                                    

(Eunseom)
Tidak mudah. Kalau bisa kubilang, ini terlalu sulit. Aku tidak sedang rebutan hewan buruan ataupun wilayah perburuan dengan suku lain, seperti yang biasanya suku-suku di Iark lakukan, tempat tinggalku selama ini. Saat ini aku melawan musuh yang lebih sulit, sesuatu yang sangat jauh untuk dijangkau.

Bukan satu orang. Bukan satu kelompok amatir.

Arthdal.

Sebuah perserikatan.

Sebuah bangsa.

Negosiasiku dengan pemimpin negeri Arthdal yang menangkap sukuku, gagal total. Anak dari sang pemimpin membunuh ayahnya sendiri, tetapi melemparkan kesalahannya kepadaku. Aku menjadi buronan, sementara aku tidak tahu bagaimana nasib sukuku dan juga Tanya, akibat kegagalanku tersebut.

Saat hendak menyelamatkan teman-temanku yang akan dijual sebagai budak, aku malah ikut tertangkap, karena salah satu temanku, Mungtae, berkhianat. Aku dijual ke tempat penambangan berlian, Ddoldambul.

Ketua pengawas budak tidak memberi kami makan dan minum, sampai kami berkata "Aku dujumsaeng."

Ia juga mengejekku yang berdarah ungu, yang menurutnya lebih hina daripada dujumsaeng. Ia menyuruhku mengucapkan, "Namaku Ungu. Aku lahir dari jalang kotor yang bercinta dengan Neanthal. Aku anak monster. Yaitu, Igutu.”

Tentu saja aku tidak mau mengucapkannya. Namaku bukan Ungu. Ibuku memberiku nama Eunseom, dan Tanya menamaiku Mimpi. Nama itu bagai mantra yang mengikatku dengan berbagai harapan dari sang pemberi. Aku tidak bisa mengganti namaku seenaknya, apalagi dijadikan bahan olokan.

Apa salahnya memiliki darah berwarna ungu? Bukan aku yang meminta untuk dilahirkan dengan warna darah yang berbeda dari mereka.

Akan tetapi, karena keras kepalaku ini, aku kehilangan salah satu temanku. Teodae. Dia bunuh diri di hadapanku. Di depan mata kepalaku! Darah dari lehernya memuncrati wajahku.

"Dasar angkuh. Kau pikir kau lebih baik daripada kami? Kau tak peduli pada apa yang aku dan Dalsae alami, ya? Kau hanya peduli tentang nama yang sangat kau banggakan, ya?" Itu adalah kalimat terakhirnya sebelum ia mati.

Aku menangis dan menjerit. Aku tak bisa melakukan apapun untuk menyelamatkannya. Tubuhku terikat di pohon.

Akhirnya aku mengucapkan kalimat hina itu, "Namaku Ungu. Aku lahir dari jalang kotor yang bercinta dengan Neanthal. Aku anak monster. Yaitu, Igutu.” Aku berharap dengan begitu, Teodae tidak jadi mati, atau setidaknya, para pengawas kami bisa menolong Teodae.

Tetapi sudah tak ada gunanya lagi. Dia telah mati. Aku begitu menyesal. Seandainya aku tidak keras kepala dalam mempertahankan namaku, dia tidak akan kelaparan dan kehausan, hingga bunuh diri.

Apa arti sebuah nama? Apa gunanya sebuah nama? Di tempat ini, nama apapun itu tak ada gunanya.

Di titik ini, aku mulai menyerah. Aku tidak tahu bagaimana nasib warga suku Wahan yang lainnya. Aku juga tidak tahu bagaimana nasib Tanya. Bahkan nasibku sendiri saja, aku tidak tahu. Apalagi aku bermimpi. Aku melihat Tanya menatapku tajam dengan berlinang air mata.

Tanya...

Satu-satunya sahabat yang kumiliki.

Satu-satunya perempuan yang berada di dalam hatiku.

"Tiap kali aku melihat wajahmu, aku menyesal..."

Tentu saja, dia pasti menyesal. Aku adalah teman yang tidak berguna. Aku gagal menyelamatkannya. Aku malah membawanya semakin masuk ke dalam penderitaan yang tak berujung, karena kebodohanku. Hatiku yang lemah dan najis ini tak pantas untuk kuberikan kepadanya.

(AC FF-IDN) DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang