Aku dan Kesedihan (1)

7 3 0
                                    

Apakah aku terlahir ketika langit sedang berduka? Atau akulah yang mendatangkan duka bagi langit?

Disuatu tempat yang tarasa sangat jauh, langitpun terlihat begitu jauh diatas sana. Aku tersadar dalam sepenuhnya kebingungan disertai kesakitan yang luar biasa.

"Apa kau kesakitan?" suara itu seakan memaksaku untuk mengangkat kepala, aku angkat kepala menghadap pada sipemilik suara dengan tubuh yang masih tertelungkup di atas pasir yang begitu panas. Nadanya penuh pengejekan, tawa menggelar dibalik keangkuhannya.

Dia satu-satunya makhluk bernyawa yang bisa aku lihat.

"Apa nafasmu sesak?" Ternyata Tuhan begitu baik dia masih menghadirkan seseorang disaat seperti ini, seorang anak kecil dengan baju kebesaran penuh tambalan dengan sebuah tongkat hitam mengkilat menyerupai tangkai payung.

Baik yang penuh kepongahan.

Aku coba untuk bangkit, tapi sebuah beban berat menahan tubuhku. Anak itu menekankan tongkatnya pada kepalaku. Berdenyeut nyeri. Membuat pasir memunuhi mulutku. Apa yang kau lakukan, hatiku berteriak murka, yang sayangnya tak bisa diteriaki.

"Apa kau kesulitan bernafas?" bibirnya menyeringai, dari balik baju kebesaran itu ia mengeluarkan sebuah benda mengkilat, itu pisau, dari kilatannya terlihat sangat tajam. Membuatku meneguk saliva katakutan.

"Kau ini manusia paling tidak tau diri, bukankah begitu?" ucapnya sembali menyingkirkan tongkat itu dari kepalaku, tapi meninggalkan denyutan yang sangat sakit.

"Biarkan aku robek dadamu, bukankah dengan begitu kau jadi tak perlu susah-susah bernafas? Ah, jenius sekali diriku ini, kau patut berbangga bisa berbincang denganku. Kemarilah, Kakak jelek!" Ucapnya dengan pongah, kepalanya terangkat penuh kesombongan dengan pisau mengkilat terangkat di udara.

"Siapa kau!"

"Kau siapa!?"

Dengan sisa tenaga yang ada aku berusaha untuk berdiri. Namun tidak bisa, tidak ada yang bisa aku jadikan pegangan, aku terduduk dengan urat-urat tangan dan buku tangan memutih menggenggam pasir dengan penuh luapan emosi. Ingin sekali rasanya membungkam mulut besarnya dengan pasir-pasir panas yang ada dalam genggamanku.

Disini angin bertiup dengan panas, menusuk tajam dalam tubuh, "Bahkan kerak-kerak neraka pun enggan menerimamu, harus aku kemanakan kau?"

Bibirku bungkam tidak bisa membalas ucapanya. Bukan. Bukan karena udara panas yang akan manusuk-nusuk anak lidahku ketika berucap, tapi lebih kearah bingung.

Aku sedang dimana? Apa yang sedang terjadi? Siapa yang sedang aku hadapai? Masih dengan posisi yang sama, terduduk dengan berpangku pada kedua tanganku serta pandangan yang tertunduk ke bawah, aku manangis. Sedih sekali rasanya, aku tidak tau kenapa.

Kesedihan, keecewaan dan penyesalan adalah hukuman yang paling menyiksa.

Ada suara lembut yang berbisik di telinga kiriku, sangat lembut. Namun suaranya dingin dan mampu membuat dadaku begitu sakit, lebih menyakitkan lagi dari pada udara panas yang menusuk. Menyeruak masuk ke dalam-dalam sana. Suara setajam pisau yang siap menyayat urat leherku, sedakat antara darah dan nadi.

"Siapapun engkau yang punya skenario ini untukku, kau sungguh tidak adil. Jika kau yang punya alam semesta ini, jika kau yang punya hidupku. Kau sungguh kejam kepadaku," rintihku dengan suara yang begitu senduh.

Suara itu kembali berbisik

Aku menyayangimu, mengetahui apa yang engkau sembunyikan, bahkan sebelum engkau lahir.

"Jika kau mengetuhinya seharusnya sebelum menciptakan aku kau sudah tau akan akhir kisahku, kenapa masih kau ciptakan aku? Dimana letak keadilanmu? Kau menodai kekuasaanmu sendiri!"

Disertasi Semesta: Pada Pulang yang Tak Pernah KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang