Mengagumi Apa? (21)

1 3 0
                                    

"Keluarga adalah hal paling rumit yang tak pernah bisa aku jelaskan," cinta juga begitu jawab hatiku cepat, aku tak berani menyuarakannya, cerita ini harus tetap berlanjut dengan cerita dari Koji aku menunggu semalaman untuk ini.

"Meraka yang pertama kali yang membuatku terluka dan patah tetapi mereka pula lah yang pertama kali mengulurkan tangan memberikan pelukan hangat," aku setuju, hatiku mengangguk mengiyakan kata-kata Koji.

"Aku pernah gila, pernah lupa siapa diriku," aku tak menganggap kata gila dalam arti seharfiah itu.

"Sungguhan?" Tanyaku memperjelas maksud diksi yang dia gunakan, terlalu ambigu.

"Sungguh," angguknya mantap.

"Hari ke tujuh setelah semuanya terkuak, aku tidak tahan lagi dengan keadaan semuanya membuat dadaku sesak. Semalaman aku menangis dan paginya aku melupakan siapa diriku."

Tiga tahun aku melupakan siapa diriku, tiga tahun aku hidup di dalam ilusi yang aku ciptakan sendiri. Selalu, selalu begitu, selalu kubangun jarak dengan kenyataan. Dan kau tau? Ayahku yang ikut turun tangan merawatku didampingi dokter, ibuku yang selalu tersenyum dan mengangguk iya untuk setiap ilusi yang aku ciptakan dan mempercayainya seaakan benar. Begitulah keluargaku." Lengang, aku tak punya diksi apapun untuk dikatakan.

"Setelah aku berhasil keluar dari duniaku sendiri membuat aku semakin merasa kecewa pada diriku sekaligus membenci mereka dalam satu waktu. Sebisa mungkin aku membiasakan diri dengan perasaan-perasaan aneh yang selalu menggorogoti, tapi sampai sekarangpun aku tak pernah bisa terbiasa. Aku selalu mengatakan bahwa semuanya akan berakhir, semua ini wajar atau menormanilasasi semua perasaan-perasaan aneh yang aku miliki. Tapi itu sama sekali tak mambantu, semakin hari rumah semakin membuat perasaanku kacau. Aku ingin mereka tetap ada tapi tidak didekatku, jika suatu saat aku merindukan mereka aku tetap ingin bisa mengunjungi mereka mau bagaimanapun tak ada harga yang pantas untuk membenci mereka."

"Bagiamana aku bisa berbaik sangka pada sang pencipta sementara dia tak pernah berada dipihakku," Koji mengusap air mata yang menggenang di pelupuk matanya, sementara aku hanya diam mematung memerhatikan apa yang dia lakukan dan menyimak setiap ceritanya. Sekarang aku tau, semua orang punya gelombang yang harus meraka taklukan.

"Itu duluh, tapi sekarang aku sudah bisa berdiri dititik dimana aku bisa menertawakan itu semuanya dan mengatakan pada sang pencipta. Terima kasih. Aku sudah lebih baik sekarang, walaupun menceritakannya masih membuat aku menangis."

"Jangan kasihani tiga tahunku, kau salah menempatkan rasa jika kau kasihan pada tiga tahunku dari tiga tahun itu aku belajar bahwa tidak ada sesuatu yang tidak seharusnya terjadi, semuanya berjalan semestinya."

Aku berdeham pelan, "Aku iri," gumamku pelan.

"Kedengaran sok tau ya?" aku menggeleng, "maaf ya kalau kesannya sok tau."

Aku ingin mendengar lebih banyak lagi.

___

Mencintaimu tak pernah menjadi beban, bersamamu selalu bisa temukan cerianya, semua menjadi lebih terang bahkan gelapnya malam tak mampu sembunyikan suraimu dalam ingatanku. Aku tak pernah takut jatuh cinta sedalam ini karena aku tau kamu tak akan pernah memilih pergi meninggalkan aku sendiri, benarkan? Kamu tak akan pergi kan? Sayang sekali, kalimat tanyaku tak pernah dapatkan jawabannya, karena aku tak pernah bisa menanyakannya secara langsung. Genangan bola mata coklatmu selalu membuat nyaliku ciut.

Aku menunggu disini, datanglah jangan lama-lama.

"Mau jalan-jalan?" lihatlah baru beberapa detik yang lalu dan sosoknya langsung muncul, bagaimana bisa aku seyakin ini? Jawabannya cukup sederhana apalagi kalau bukan cinta. Cinta tak pernah membebani karena apapun yang dilakukan atas dasar cinta tak pernah melukai.

Disertasi Semesta: Pada Pulang yang Tak Pernah KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang