Berpisah dan Masing-Masing (18)

1 3 0
                                    

"Kau penjilat yang luar biasa."

"Tentu," jawabku pongah.

"Apa tujuanmu meminta ayahku mendata semua penduduk negeri bawah. Apa untuk menemukan temanmu?"

Aku menggeleng, "Tidak juga. Aku sudah menemukan temanku, dia yang menemukan aku."

Mata Koji membulat sempurna, tercengan mendengar kalimatku, "Hai! Kenapa kau tidak memberitahu aku?"

"Untuk apa?"

"Setidaknya aku merasa sangat dihargai ketika orang-orang yang aku rasa dekat menceritakan hari-harinya, tak perlu secara detail cukup secara garis besarnya saja."

Aish, kenapa Koji mendadak menjadi sentimental seperti ini, "Apa kau ingat anak yang ayahnya aku antarkan ke rumah sakit?"

"Aku ingat, kenapa?"

"Mereka bilang rumah sakit tidak bisa melakukan tindakan karena mereka tidak terdata sebagai penduduk Holinda, aku tidak mau hal-hal seperti itu tak terjadi lagi. Teknologi yang Holinda punya adalah teknologi yang negeriku idam-idamkan dan aku berharap taknologi seperti ini tak pernah terwujud di negeriku, setidaknya sampai aku mati. Ah, teknologi negerimu mengerikan."

Koji tak peduli soal alasan dibalik aku mengajukan usulan untuk mendata seluruh penduduk negeri bawah, dia lebih tertarik tentang temanku itu.

"Dimana kau menemukannya?"

"Dia yang menemukan aku."

"Oke, dimana dia menemukanmu?"

Aku memutar bola mata malas, terlalu banyak pertanyaan membuatku muak, terlalu banyak kata terkadang membuatku sebal, "di panti asuhan."

"Apa yang dia lakukan disana?"

"Aku tidak tau."

"Apa yang dia katakan padamu?"

Aku menghela nafas pendek, alasan dibalik kenapa aku tak menceritakan perihal pertemuanku dengan dia adalah karena aku merasa malu, Leo hanya menanyakan soal Indonesia, Jakarta dan Halte tidak ada pertanyaan perihal 'kamu apakabar? Kamu tinggal dimana?' atau sejenisnya.

"Kau pikirkan saja apa yang akan dibicarakan dua teman lama yang lama tak bertemu dan bertemuanya dinegeri hanta beranta pula."

Koji mengetuk-ngetukan jari telunjuknya pada dagu seolah berfikir, "Apakabar?" terkanya. Aku mengangguk, berbohong sebenarnya "Apa kau menyukainya?" pertanyaan yang selalu aku hindari, di depan cermin pada diriku sendiri pun aku tak berani untuk menanyakan itu. Terlalu menyakitkan ketika aku menjawab iya sedangkan faktanya hanya aku yang berharap padanya, aku tau sebuah kata-kata bijak jangan menjadi pelangi untuk orang yang buta warna, jangan berkorban untuk seseorang yang tak mengaharapkan kehadiranmu. Tapi, mau bagaimana lagi? Aku ingin mundur, sungguh, aku ingin menjauh. Tapi, sialnya pasti bakalan balik lagi ke dia, hmmm ... dia itu penawar sekaligus racun dari rasa sakit hati. Sederhananya aku menangis semalaman karena merasa cemburu lalu keesokan harinya ketika dia tersenyum kearahku rasa sakit itu menguap begitu saja. Mau mundur, mundurnya kemana? Mundur pun aku jatuh ke dalam lubang gelap, pengap dan sesak.

"Jadi kau benar-benar menyukainya ya?" Koji kembali bertanya

Aku menggeleng, "kadang iya, kadang enggak. Tergantung suasana."

Koji mengernyit bingung, alis hitamnya saling bertaut, "ketika dia baik dan peduli padaku aku menyukainya, tapi ketika baik dan pedulinya mulai merambat kesemua orang aku membencinya. Bersamanya sakit dan senang menjadi dua rasa yang saling berpadu membuat konstalasi. Memang cinta begitu, kan?"

"Bukan, cinta tak sebodoh itu. suatu saat salah satu diantara dua rasa itu akan mulai mengambil peran, syukur-syukur kalau rasa suka yang lebih mendomansi bagaimana jika rasa sakit yang mendominasi, aku yakin kau akan mulai merutuki kebodohan ini. Senang ya senang, sakit ya sakit, Jiran. Dua rasa itu tak akan pernah bisa saling bekerja sama, mereka akan saling mengalahkan, mengambil peran menjadi tokoh utama."

Disertasi Semesta: Pada Pulang yang Tak Pernah KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang