01. Langit temaram

78 56 74
                                    

Salam Untuk Pelangiku

Ini ceritaku saat semasa SMA. Ya, tidak jauh berbeda dengan cerita-cerita pada umumnya, menyangkut sebuah hubungan dua orang remaja, yang pada akhirnya terpisah karena jalan yang kami pijak tidak sama.

Ah, Seandainya. Jika aku berusaha lebih keras, apa keputusanmu akan berbeda? Entahlah, aku ingin menghargai keputusannya, namun aku juga sangat ingin berteriak di hadapanya dan memaki semua yang ku bisa.

Kana –






Mega redup menguasai angkasa. Rintik gerimis masih menghujam bumi. Aroma tanah basah tercium nyata, berkombinasi dengan semilir angin. Kana melangkah cepat, sesekali melompat rendah menghindari genangan-genangan air, meskipun Kana tahu— tindakannya tidak dapat menjaga sepatunya tetap kering.

Kembali melihat jarum jam yang bertengger di pergelangannya, bibirnya mencebik cemas. Kana kembali melompat, kali ini bukan untuk mengindari genangan, tapi untuk mencari tau aktivitas para murid dan guru di balik pagar beton setinggi orang dewasa. Tidak menemukan apa-apa, hanya terdengar suara guru pengajar di kelas terdekat. Kana meloloskan nafas duka. Lantas, kembali berlari mengabaikan cipratan air yang entah mengenai kaos kaki atau seragamnya.

Suara derap langkah terburu-buru menggema memenuhi koridor, menarik perhatian para murid dan guru yang tengah sibuk dengan pelajaran. Mengetahui itu, Kana meringis tak enak kemudian berusaha sebaik mungkin untuk meredam suara sol sepatunya yang menghentak lantai. Sedikit mengurangi laju dan tekanan pada kakinya. Tamat sudah, Kana tau jika usahanya akan sia-sia. Namun Kana juga menanamkan sedikit harapan, berdoa jika guru yang mengisi jam pertama belum sampai atau tidak hadir karena suatu halangan. Jika memang Tuhan mengabulkan, sungguh itu adalah kabar sangat menggembirakan.

Jantungnya berdetak gugup, bahkan tubuhnya turut bergetar halus. Tak tahu apakah reaksinya terlalu berlebihan hanya karena terlambat, tapi tak melebih-lebihkan jujur kali ini Kana ingin memiliki kekuatan tembus pandang agar tak ketahuan saat menyelinap– saking frustasinya. Kana berhenti kala pintu kelasnya sudah berada dalam jangkauan mata. Berjalan amat pelan, sembari menggenggam tali ranselnya. Dan kembali, Kana menghentikan langkahnya, menarik nafas dalam-dalam lalu menghembusnya. Sial, sama sekali tak memberi efek barang secuil pun.

Pada waktu yang sama, Kana melirik kearah pintu ruang seni yang sedikit terbuka, tangannya terulur meraih gagang pintu tersebut untuk menutupnya. Namun, pandangannya justru terpaku pada satu titik yang membuat kecemasannya sedikit teralihkan. Melalui celah yang sempit tersebut, tampak laki-laki duduk di jendela, tengah menatap langit sendu, turut prihatin atas rintihan sang awan. Kana mengerjap beberapa kali, sebelum kembali tersadar bahwa ia terlalu lancang memperhatikan orang secara diam-diam.

Pada detik itu Kana melepas pegangannya dan hendak berlalu. Tapi pada detik itu pula laki-laki tersebut tiba-tiba menoleh, membuat pandangan keduanya sejenak bertemu. Hanya sebentar, setelahnya Kana mematung, menemukan keberadaan Pak Kenan yang berada di ambang pintu. Ah– Sialnya hari ini, sudah kepergok memperhatikan orang diam-diam, dalam kurun waktu hampir sama malah datang petaka yang sudah ia ramalkan.

Kana menunduk, berjalan hormat mendekati sang guru, “maaf Pak, saya terlambat. Motor Kakak saya tiba-tiba rusak tadi pagi.”

Pak Kenan tak langsung menjawab, menatap diam yang entah kenapa terasa semakin menekan.“Apapun alasannya kamu tetap terlambat Kana.” Suara tenang itu membuat nafas Kana tercekat.

“Kerjakan semua soal di halaman 65, kamu baru boleh masuk kedalam kelas kalau semua jawabannya benar. Jika kamu belum selesai sampai jam pelajaran saya habis, kerjakan sampai halaman 78, saya tunggu selepas pulang sekolah.” Sambung pria tersebut.

Salam Untuk Pelangiku.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang