Langit begitu cerah. Padahal, menurut prediksi cuaca yang ditonton Ibu tadi malam, hari ini akan turun hujan. Hilir-mudik para pengendara tak ada habisnya. Terik panas dan debu jalanan bertebaran bebas, berbagai macam suara bising mesin kendaraan atau orang-orang yang sedang menawarkan dagangan terdengar saling bertabrakan, menggambarkan betapa semrawutnya kota Jakarta.
Sedangkan Raka sibuk meratapi nasib, terus memandangi padatnya lalu lintas– sesekali nafasnya berhembus kencang seolah berusaha membuang beban. Kalau diingat lagi, sebenarnya banyak wejangan dari berbagai sumber mengenai sulitnya menjadi dewasa, dulu Raka tak pernah mengindahkan perkataan itu atau sekedar membayangkannya, ia lantas membiarkan begitu saja bak angin lalu. Hingga dirinya berada di titik ini– di mana takdir mulai memaksa Raka untuk menyisihkan memikirkannya yang amat picik.
Ah benar, menjadi dewasa itu rumit. Suatu hal yang dulu bahkan tak terpikirkan, kini berusaha keras menjejal masuk dan berbaur dengan pikiran rumit lainnya. Sebenarnya semenjak kapan Raka sudah sebesar ini? Bagaimana bisa, waktu sudah lama berlalu hanya melalui garis detik. Di balik kedewasaan yang Raka sandang, tak lain hanya sebuah kedok, mengingat betapa payahnya dirinya– sehingga sama sekali tak mampu mengenyahkan rasa takut serta keraguannya untuk memulai langkah serius. Niat itu perlu namun baginya keberanian lebih diperlukan. Setidaknya, Raka ingin menjadi berguna walau tak sebanding dengan Mba Anas dan Bima.
Kala itu Raka pernah menjumpai sebuah kalimat bermakna di sosial media entah darimana sumbernya, kira-kira seperti ini bunyinya: Walau tidak akan pernah merasa siap, mulai saja. Namun, bagaimanapun jika Raka tetap bersikukuh menghilangkan keraguannya lebih dahulu, akankah hasilnya sama? Atau mungkin, keinginan memulainya hanya berakhir dalam catatan lama. Entahlah, semoga tidak.
“Woi! Dah lama lo dimari?” Suara lantang Joni seketika membuyarkan lamunan Raka, laki-laki bertubuh tinggi besar itu berjalan mendekat lengkap dengan tampang slengean.
Raka menoleh malas perkara kedatangan makhluk besar itu melenceng jauh dari perjanjian, membuat tulang punggungnya terasa pegal lantaran terlalu lama menahan sikap sempurna. Raka menyipit sinis sebelum berdecak sebal menemukan Joni telah berdiri menjulang dihadapan– membawa serta gitar miliknya yang sudah dipinjam sejak dua minggu lalu, “lama! Lo kemana aja sih anjir!?”
Sebelum menjawab pertanyaannya Joni sempat cengar-cengir dahulu, membuat Raka mengernyit heran dan menaruh sedikit kewaspadaan.“Anu, kerumahnya Jamet ngambil gitar punya lo, kemarin dipinjem.” Setelah berkata demikian, Joni semakin melebarkan senyumnya terlebih saat mendapati ekspresi Raka mendadak berubah menjadi horor.
“Kan udah gue bilang jangan dipinjemin!” Ini bukan masalah pelit atau tidaknya. Bayangkan saja sebanyak laki-laki yang dipanggil Jamet itu meminjam gitarnya- gitarnya akan kembali dalam keadaan bermasalah. Ah, Raka bersyukur tidak menemukan senar yang terputus membuatnya bernafas lega sesaat, namun raut wajah Raka kembali berubah nyalang kala mendengar suara petikannya tak selaras biasa. Tuner yang susah payah Raka setel kini sudah berubah haluan, memang benar bisa diatur ulang, tapi ia bukanlah orang handal– yang sat set langsung pas, butuh waktu cukup lama dan ketelatenan agar bisa sesuai.
“Ya gimana,” Joni menjeda perkataannya, menatap Raka meminta pertimbangan. Posisinya saat itu juga tidak mudah, terlalu kasar baginya jika harus melarang seseorang yang hanya ingin ikut bersenang-senang. Toh, Jamet adalah anak yang baik dan ramah hanya saja memang sedikit teledor, “dia datang pas gue lagi mainin gitar lo, mana enak kalau dia minjem terus gue larang.”
Mau tak mau Raka akhirnya menghela pasrah, jika dirinya berada di posisi Joni kala itu– ia pasti akan bertindak sama. Raka kembali menatap lurus, membiarkan pemikirannya terurai satu persatu sembari menikmati ramainya ibukota. Fokusnya mendadak pecah– Raka dibuat terjingkat lantaran tubuh besar Joni mendarat di sampingnya tanpa hati-hati, membuat papan yang menyangga sedikit melengkung ke bawah, nyaris membuat jantung Raka terlepas dari tempatnya,“sialan lo Jon, kaget gue. Kalau ni bangku patah pokoknya lo udah penyebabnya.”
![](https://img.wattpad.com/cover/308707183-288-k488855.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Salam Untuk Pelangiku.
Fanfiction❝Ah, Seandainya. Jika aku berusaha lebih keras, apa keputusanmu akan berbeda? Entahlah, aku ingin menghargai keputusannya, namun aku juga sangat ingin berteriak di hadapanya dan memaki semua yang ku bisa❞ - Kana