Mengapa harus ada rasa sakit jika seseorang sudah merasakan jatuh cinta?
// About Readiness //
"Papa aku mau curhat ...." Ayra menarik napas dalam, lalu menatap lesu ke arah Farhan yang masih terbaring di brankar rumah sakit dalam keadaan mata yang senantiasa tertutup.
"Masa, ya pas pulang sekolah tadi, pas di koridor rumah sakit aku ketemu sama Mbak santri yang namanya Jihan." Ayra memulai sesi curhatnya sembari kedua tangannya mengelus lembut tangan Farhan yang tidak terinfus. "Dia orangnya saleha, berjilbab, keliatan kalem, dan wajahnya tuh adem gitu kalau diliat. Kalau Papa lihat Mbak Jihan, pasti Papa akan sepemikiran sama aku."
"Tapi, Pa aku kok kayak sakit hati ... malah cemburu kalau Kak Akhtar lagi ngobrol sama Mbak Jihan. Kenapa kayaknya Kak Akhtar akrab banget sama dia? Malah kayak peduli juga. Sikapnya Kak Akhtar ke Mbak Jihan itu beda banget, Pa, nggak kayak ke cewek-cewek lain yang deketin Kak Akhtar. Sebenarnya Kak Akhtar sama Mbak Jihan ada hubungan apa, sih, Pa?" Ayra terus saja bercerita, menyuarakan segala rasa penasaran akan hubungan Akhtar dan Jihan yang kembali bercokol di dalam hatinya setelah insiden tadi siang saat mereka bertemu dengan gadis berjilbab itu di koridor rumah sakit.
"Aku, kok kayak ngerasa ada sesuatu gituloh di antara mereka berdua, Pa Kalau aku lihat tatapan Kak Akhtar juga beda banget kalau ngeliatin Mbak Jihan. Tatapannya nggak kayak kalau dia ngelihat aku atau cewek-cewek lainnya," gumam Ayra seraya menatap jendela yang menampakkan langit yang tampak cerah. Tatapan matanya seolah menerawang kejadian di mana saat Akhtar menatap Jihan ketika mereka sedang berinteraksi.
"Apa karena Mbak Jihan berjilbab makanya tatapan Kak Akhtar ke dia beda gitu, ya, Pa?" tanya Ayra lagi, seolah pertanyaannya itu akan dijawab oleh Farhan yang sama sekali tidak pernah merespons apa pun ucapannya sedari tadi. "Kalau semisalnya aku pake hijab, apa Kak Akhtar akan natap aku kayak gitu juga? Tatapan Kak Akhtar yang beda waktu ngelihat Mbak Jihan itu kelihatan spesial dan aku juga mau, Pa ada di posisinya Mbak Jihan. Tapi ...."
Ayra menggeleng keras, kemudian kedua mata bulatnya menatap Farhan dengan serius. "Nggak! Aku nggak akan berhijab hanya karena ingin ditatap spesial juga kayak Mbak Jihan. Aku udah janji sama diri aku sendiri, kalau aku akan berhijab hanya karena tekad dan keputusanku sendiri, bukan karena Kak Akhtar ataupun tuntutan dari orang-orang terdekatku."
Ayra menghela napas panjang, lalu detik berikutnya tatapannya berubah sendu tatkala kedua mata bulat itu menatap lamat ke wajah Farhan. "Papa kok betah tidur, sih? Bangun, kek Pa. Aku kangen, tahu," ujar Ayra sambil menggenggam kuat tangan Farhan yang sedari tadi dielusnya.
"Papa harus bertahan pokoknya. Insya Allah secepatnya dokter dan Bang Adit akan nemuin donor jantung buat Papa. Papa nggak boleh nyerah, ya. Papa juga harus berjuang untuk kembali bangun," ujar Ayra kemudian berdiri dari duduknya, lalu sedikit membungkuk ke arah Farhan, dan detik berikutnya sebuah kecupan lembut mendarat di kening pria yang masih terus menutup matanya itu, tanpa tahu kapan netra di balik kelopak matanya akan terbuka kembali.
Aina tersenyum getir sembari menatap Ayra yang sedang memeluk papanya yang masih terbaring lemah di atas brankar. Wanita paruh baya itu mendengar semua apa yang Ayra katakan pada papanya, tetapi tidak ada niatan untuk menghampiri putrinya itu. Dia takut jika saja kehadirannya membuat waktu Ayra yang sedang mengeluarkan keluh kesahnya pada Farhan akan terganggu, walau pada kenyataannya tidak seperti itu, sebab selain pada Farhan Ayra juga sangat terbuka kepada dirinya.
"Ma, ngapain?" Aina tersentak, lalu seketika menoleh ke arah putra keduanya yang kini sedang menatapnya dengan bingung.
"Kakak, ngagetin mama aja. Udah berapa kali mama bilang, kalau mau masuk harus salam dulu, biar orang di dalam nggak kaget liat kedatangan kamu yang tiba-tiba," omel Aina pada Althaf.
![](https://img.wattpad.com/cover/304362320-288-k274141.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
About Readiness
SpiritualSpiritual-fiksiremaja "Maaf, aku nggak bisa kayak Sayidah Fatimah yang bisa tahan dengan cinta diam-diamnya kepada Ali bin Abi Thalib. Aku juga tidak seberani Bunda Khadijah yang melamar Rasulullah lebih dulu ... yang kubisa hanya menjadi seperti Zu...