Tringg
Akhirnya pintu litf terbuka setelah sekian purnama gue naik lift ini, yang langsung gue berjalan tergopoh-gopoh ke arah ruangan pemotretan dengan segera. Hari ini gak ada candaan dari mulut gue soalnya ini menyangkut tentang reputasi gue sebagai seorang fotografer profesional dan juga salah satu editor terpercaya di perusahaan ini.
Ceklek
Gue membuka handle pintu sedikit kasar, begitu gue buka di sana sudah tersedia alat-alat yang akan digunain buat pemotretan nanti, semua sudah disediakan sama beberapa partner dalam divisi gue. Gak hanya itu CEO perusahaan ini plus asisten pribadinya pun udah ada di dalam ruangan ini.
"Maaf saya telat tadi ada sedikit urusan," Tutur gue.
Ya, selamat datang dalam dunia kerja gue yang mana gue seolah jadi orang lain, bukan diri gue yang biasanya rusuh plus ribut ngalahin bocah kampung sebelah yang lagi bangunin saur. Tapi inilah yang gue namakan sebagai profesionalitas, mungkin gue di kehidupan sehari hari selalu rusuh minta ampun, tapi di pekerjaan gue kali ini bener-bener serius.
Anjir, berasa jadi orang bijak gue.
Yang langsung gue ambil kamera kesayangan gue dari tas kecilnya yang langsung gue taruh di atas meja kecil yang memang sudah disediakan di sana. Gue udah siap menempati posisi gue buat mengambil gambar, sedikit mengatur kamera gue buat fokusnya.
Tapi ada yang aneh, ini pemotretan apa yang mau di potret sedangkan di tempat itu kosong nggak ada modelnya. Gue memgarahkan pandangan ke arah CEO perusahaan ini dan asisten pribadinya yang sedang berada di dekat lampu sorot.
Gue mengangkat dagu gue seolah memberi isyarat kepada mereka di mana model yang mau dia potret hari ini, namun sang asisten hanya mengendikkan bahunya lalu tatapan datar dari CEO perusahaan itu.
Yang berakhir gue berjalan mendekat kearah mereka.
"Model nya mana?" Tanya gue setelah berada di dekat keduanya.
"Tanya aja sama pak CEO, nih!" Ucap laki-laki tinggi di sebelah atasannya itu yang menyikut orang di sebelahnya.
"Sedang dalam perjalanan, masih tertunda macet begitu katanya." Ucap laki-laki itu.
"Lagian tumben telat, nggak biasanya Fiq," Ucap laki-laki jangkung itu.
"Baru saya berniat mau potong gaji kamu tadi, tapi keburu kamu datang jadi saya urungkan." Balas atasan gue.
"Heh, Rayhan Dio Adinata CEO Wibisono Group yeteha! Ada masalah idup apa maneh sama abdi!" Ucap gue yang udah berkacak pinggang.
Oke sip, jadi gue kerja di kantornya Dio. Ibaratnya gue sama Dio udah kaya bestie seidup semati, gue sama Dio dari orok sampe segede titan ini bareng-bareng terus. Dari jaman TK, SD, SMP, SMA, KULIAH--yang ini beda jurusan doang-- sampe sekarang kerja pun masih ketemu si human sadis itu.
Bahkan dari jatuh bangun nya Dio jagain bini nya dulu sampe sekarang--Seviana namanya kalo belum kenal sok kenalan dulu di lapak sebelah--udah mau punya buntut dua gue tau. Udah lord banget kan gue.
"Apa!" Sinis Dio.
"Heran gue, kenapa gue bisa temenan ama spesies kulkas kaya lo deh!" Oceh gue.
"Saudara Alfahrian Chanyeol Wibowo, segera siapkan surat phk untuk manusia di sebelah saya," Ucap Dio dengan tangan yang sudah dia lipat di depan dada.
Lah anjir nih human, ya kali gue mau di pehaka ntar si mbih--motor bebek--kesayangan gue, saksi bisu perjuangan gue pedekate sama Aisyah--ustajah komplek sebelah--gimana dong.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Partner Bacot Girl
ChickLitSpin off My Lovely Bantet Girl [Book 2] "Bisa nggak sih, sehari aja lo ilang dari kehidupan gue. Kenapa selalu ada lo di mana pun gue pergi? Lo ngikutin gue pergi kan? Ngaku deh lo!" "Bacot sih! Lo kali yang selalu ikutin gue!" "Lo yang Bacot!" "...