I. BLOSSOM

12 5 1
                                    

⚠️ TW & CW ⚠️

mentioned sexual harrasment

• T H E R O Y A L S •

Detik demi detik terasa begitu lambat. Malam semakin menunjukkan taringnya, membuat siapa saja yang berada di luar menggigil. Entah antara menggigil ketakutan karena jalanan telah sepi atau angin malam yang menggigit.

"Pak pol."

Sebuah helaan napas keluar dari mulut pria dengan seragam polisi. Pria itu lalu melemparkan tatapan tanya pada manusia di depannya.

"Gue pulang, ya?" jawabnya dengan tanya.

Pria yang menjabat sebagai anggota kepolisian itu lagi-lagi berdecak pelan, "Kalau bukan saya yang nanganin kamu dari dulu, nggak ada yang mau nerima kasus anak yang nggak ada sopan-sopannya ngobrol sama orang yang lebih tua kayak kamu ini."

Orang itu kemudian berdecih, "Kayak polisi di sini kerjanya becus aja. Lagian kan masalah gue juga sama kayak sebelum-sebelumnya. Lepasin kek! Gue ngantuk, nggak lihat apa ini mata panda gue segede ini?"

Sepasang pasutri yang duduk tak jauh dari mereka melirik sinis padanya. Mereka terang-terangan mengucap syukur tidak diberi anak perempuan sepertinya yang tidak punya etika dan sopan santun.

Lora, perempuan itu, memutar kedua bola matanya kesal. Ia membalas tatapan sinis sepasang suami-istri itu tak kalah sinis.

"Emang siapa yang mau punya orang tua kayak kalian? Anak kalian juga belum tentu lebih baik dari gue kan? Siapa tahu mereka diem-diem lebih nakal..."

"Jaga ucapan kamu ya! Dasar nggak sopan, kamu lagi ngobrol sama orang tua."

Sang istri terlihat geram mendengar ucapan Lora. Ia sudah berdiri dan akan menghampiri Lora jika suaminya tidak menahannya.

"Nggak usah sok tahu kamu soal anak saya! Saya yakin anak saya anak yang baik, anak yang terdidik dan punya attitude yang baik! Nggak kayak kamu, berandalan!"

Lora tertawa keras mendengarnya.

"Pah, lihat! Anak perempuan, masih muda, di kantor polisi itu ngapain kalo nggak bikin masalah? Kelakuannya aja kayak nggak pernah dididik orang tua gitu," ujar sang istri pada suaminya. "Untung aja ya, pah, anak kita nggak kayak gitu. Amit-amit."

"Bacot banget elah," gumam Lora seraya mengorek telinganya dengan kelingking.

"Pak, kapan nih gue dipulangin? Nggak tahu apa sekarang tuh rawan pelecehan seksual, korbannya kebanyakan cewek dan kalo mau pidanain pelaku ke polisi tuh susah. Apalagi kalo pelakunya ternyata pacar si korban, bah! Pasti ngiranya kalo pacaran tuh bebas ngapain aja ke pasangannya tanpa consent. Padahal kan enggak, iya kan, bu?" ujar Lora seraya melirik ke arah pasutri tak jauh darinya. Mereka nampak terkejut, terlebih sang istri yang terlihat gemetar dan langsung kembali duduk di tempatnya.

"Sabar, bentar lagi. Seperti kata kamu tadi, ini sudah sangat larut--nyaris dini hari, nggak baik anak perempuan keluyuran sendiri. Rawan."

"Perhatian banget sih, pak. Salting nih gue," kata Lora dengan ekspresi datarnya.

Polisi itu menggelengkan kepalanya tak habis pikir. Bisa dibilang ia sedikit tahu mengenai Lora karena perempuan itu sering sekali keluar-masuk kantor polisi. Pertama kali Lora masuk kantor polisi saat usianya empat belas tahun atas tuduhan penusukan.

Tentu saja Jaya--polisi itu terkejut, seorang anak di bawah umur melakukan tindakan kriminal seperti itu. Semenjak itu, Lora semakin sering menyambangi kantor polisi atas berbagai macam laporan. Atasan Jaya sampai menyerahkan kasus-kasus kriminal Lora padanya, saking seringnya perempuan itu berbuat ulah.

"Padahal saya sudah bersyukur, dua bulan ini tidak ada laporan tindakan kriminal atas nama Laura Diankara. Tapi saya sepertinya berekspektasi terlalu tinggi."

"Udahlah, gue mau tidur. Bangunin gue kalo udah boleh pulang," ujar Lora acuh.

Ia lantas berpindah ke bangku panjang di bawah AC dan berbaring di sana tanpa pikir panjang. Istilah kantor polisi adalah rumah kedua Lora memang benar adanya.

Setengah jam berlalu dan waktu menunjukkan setengah dua dini hari. Lora masih pada posisi berbaringnya-bahkan sempat tertidur di bawah dinginnya AC. Saat tersadar dari tidurnya, ia merasakan ada yang mengganjal kepalanya. Tubuhnya pun terasa hangat seperti mengenakan selimut.

Dari aromanya Lora sudah tahu siapa pelakunya.

"Kenapa nggak bangunin gue aja sih? Gue udah capek nungguin di sini," ujar Lora masih dengan matanya yang terpejam.

"Nggak ah, kasian my blossom kecapekan kuliah sama kerja masa' tidurnya dibangunin. No no no, it's not a gentlemen do."

Lora kemudian bangun dari posisi berbaringnya, "Kebiasaan deh. Jam berapa sekarang?"

"Setengah dua."

Lora menatap orang itu dengan bola matanya yang terbuka lebar. Hal itu menimbulkan gelak tawa si lawan bicara.

"Iya, ayo pulang," ujarnya seraya menarik lembut tangan Lora untuk segera beranjak.

Setelah berpamitan dengan beberapa polisi yang sedang berjaga, mereka berjalan keluar menuju parkiran.

"Gue kesel deh sama Jaya. Gue kan bukan anak kecil, ngapain pulangnya harus nungguin lo dulu? Kalo boleh pulang sendiri, gue udah bisa rebahan di kamar dari jam sebelas tadi."

"Capek ya?"

"Masih nanya? Ya capek bangetlah Ndre, gilaaa! Lo tahu sendiri ini hari Senin, gue ke kampus jam tujuh sampe jam makan siang. Terus lanjut jaga tokonya Koh Win sampe jam sepuluh. Lucunya nggak ada angin, nggak ada hujan, ada yang nyari ribut tapi dianya yang ngelapor ke kantor polisi. Anjing lah itu yang ngelaporin!"

"Language, sweety."

"Bodo amat! Gue masih kesel sama itu orang."

Andrea melayangkan tatapan hangat kepada Lora, tangannya terulur mengusap pelan pucuk kepala gadis itu. "Iya, pasti dongkol banget kan? Gue kalo jadi lo juga bakalan marah."

"Iya kan?"

Andrea tersenyum, senyum yang selalu menenangkan bagi siapapun yang melihatnya, "It's okay, lo mau marah silahkan. Mau ngamuk juga silahkan, make it clear what you feel. Satu pesen gue, jangan sampe emosi lo nyakitin diri lo sendiri."

Lora menatap ke dalam sorot mata teduh Andrea, "Lo nggak marah sama gue? Nggak malu? Gue sering bikin masalah sampe keluar-masuk kantor polisi, lho. Sering ngrepotin lo."

Andrea menggeleng pelan, "Bahkan dari enam tahun yang lalu, gue nggak marah sama apa yang udah lo lakuin. Gue nggak pernah ngerasa direpotin sama lo dan ya, gue nggak malu. You did well today, sweetheart. Nggak mungkin seorang Lora sampe nekat kayak gitu tanpa alasan kan? I know you, Lora. Mau berapa kali gue harus jemput lo di kantor polisi, gue tetep bangga sama lo. Got it?"

Lora mengangguk pelan.

"A hug?" ujar Andrea seraya merentangkan tangannya.

Lora menatap Andrea terharu. Tidak butuh waktu lama untuk tubuh mungilnya terkurung dalam dekapan pria jangkung itu. Dalam dekapannya, Lora selalu memperoleh kenyamanan, kehangatan, dan rasa aman.

And no one can replace it.

Hanya Andrea yang benar-benar mengerti dirinya. Bahkan ketika orang-orang terdekatnya berbalik, hanya Andrea yang mengulurkan tangannya. Hanya Andrea yang selalu di sampingnya. Hanya Andrea satu-satunya yang ia miliki di dunia ini.

-cathbluerry.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 29, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Royals • PSH × SHR [02l] auTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang