Happy reading
Suara ayam berkokok memulai pagi, Awal hari yang membangunkan setiap makhluk hidup yang terlelap saat malam.
Serak suara terdengar ditelinganya sendiri, nuansa redup dan kelam begitu terlihat dan terasa dikamarnya, Tidak sempit dan tidak luas, tapi begitu hampa, hal pertama terlihat hanya lemari 2 pintu berukuran 70cm didepan kasurnya dengan cermin disisi pintu kanan, kasur 180×200 cm yang ia tempati, tanpa sprei bahkan bantal, hanya gumpalan selimut.
Tidak ada yang berubah, tidak ada yang cerah, jika ruang jeruji terdapat bukaan meski harus terkurung, itu seakan lebih baik daripada kamarnya ini, jendela kecil bahkan tak mampu menyinari kamarnya, pintu yang senantiasa ia buka, tak takut orang rumah melihat aktifitasnya, ia lebih takut mati tanpa diketahui.
Arkatama Laxyfer, 3 bulan lagi ia akan berusia 20 tahun, dan 3 bulan itupun kepalanya kembali terusik dan dipenuhi berbagai ketakutan, tuntunan dan tekanan.
Semalam adalah aktivitas wajib yang seakan menjadi permanen, menangis menyalahkan diri dan kembali menenangkan diri sendiri.
Tama mulai duduk, ia mengusap wajahnya, mata bengkaknya kentara, ia harus cepat-cepat membasuh wajahnya agar tidak terlalu begitu terlihat, bisa-bisa ia akan malu dan pertanyaan bodoh akan keluar dari orang rumah.
Tubuhnya terasa segar sehabis mandi, namun pikirannya membuat tubuhnya masih terasa lelah, sangat lelah.
Tama memeriksa ponselnya, menyalakan tombol data seluler, notifikasi banyak muncul, notifikasi rekomendasi aplikasi, serta pesan grup loker yang sudah lama ada.
Tidak ada lagi, hanya itu.
Tama menghela nafas, ia kemudian mulai mengetik kata perkata, hanya kalimat biasa namun memaksa pikirannya berputar.
~ Kampus tidak?
5 menit, 7 menit, 10 menit, 20 menit.
Tidak ada jawaban. Tama meletakan ponselnya, ia berpakaian dengan rapi, mulai menyiapkan diri untuk keluar dari rumah, lebih tepatnya dari kamarnya.
Cahaya matahari mulai masuk dalam penglihatan Tama saat kakinya melangkah keluar dari pintu rumah, Penglihatannya otomatis menghitam beberapa saat, namun Tama tidak berhenti, ia berjalan seperti biasa meski kepalanya pusing saat penglihatannya gelap.
Penglihatan tama kembali sesaat setelah ia sudah sampai didepan motor putih Vario keluaran lamanya. Tidak memikirkan hal lain, Tama mulai bersiap pergi ke kampus.
Sepanjang jalan, hanya pikiran itu yang kembali menyelam dalam diri Tama, hingga gerbang kampus terlihat. Butuh 6 KM untuk sampai disana.
Tama menyiapkan dirinya saat kakinya berpijak, ia mulai mengukur senyum kecil tak kala melihat senior fakultasnya, menyapa dan menyalami mereka setiap kali terlihat. Ia harus memaksa dirinya agar terlihat lebih terbuka dan aktif pada orang disekitar, tidak ingin dianggap aneh atau sombong, hingga sesampainya Tama dilantai 3 gedung Utama Laboratorium.
Tama melihat pintu Lab masih terkunci, dijam 9 lebih pagi ini, terdapat 1 teman yang juga sudah ada sejak pagi, kebiasaan biasa setelah menjadi mahasiswa aktif, ia terduduk dilantai, melamun sejenak, lalu memutuskan pergi kembali, ia belum sarapan, belum juga makan sejak siang kemarin.
Ia pikir kehidupan kampus akan sama menyenangkan dan seru seperti semasa smk dulu, ternyata jauh dari itu. Bukan, bukan karena dirinya, tetapi mungkin karena ia salah waktu dan tempat saja.
Kampus ini tidak semenyenangkan kampus impiannya, teman-temannya tidak sebanyak yang ia harapkan, sunyi sepi menjadi makanan sehari-hari. Ia pikir, ia bisa keluar dan bertemu teman-temannya diluar kampus, seperti masa sekolahnya dulu, namun, ia hanya sendirian sampai waktunya pulang.
Tidak ada yang salah, mungkin hanya belum tepat waktunya saja, Tama merasa tidak mendapatkan mimpinya meskipun ia sudah berusaha keras, berakhir kembali mengiyakan semua permintaan orangtuanya, meski tiap kali permintaan itu meminta hal, Tama juga harus tetap sabar dengan makian yang ia terima.
"Bagaimana bisa mereka memaksa kehendak sesukanya, saat kita sudah menyetujuinya, mengorbankan mimpi kita demi mereka, saat kita perlahan menerima hal itu, mereka seakan menyalahkan, mereka menganggap kita beban dan tidak bisa mencari pilihan, padahal, mereka sendirilah dalang dibalik ketidakmampuan ini untuk maju".
Namun, meski tidak ada lagi alasan bersedih dan tidak ada kepastian, karena begitu sia-sia menyalahkan siapa. Ia harus tetap hidup, meski sudah terasa mati sejak lama, sejak ia masih 10 tahun.
* 6 tahun yang lalu
"HBD! Woooooo, lempar, cepat-cepat"
Suara dan teriakan senang menggema disekitar, Tama kecil yang genap berusia 14 tahun berulang tahun, pertama kali dirayakan oleh teman-teman SMP nya, meski hanya 2 orang, tapi, itu cukup membuat air matanya banjir ditengah wajah yang penuh tepung dan cairan telur.
Kue kecil yang harganya 30 Ribu, mungkin sekarang sudah 50Ribu menjadi kue ulangtahun pertamanya.
Tama masih menangis namun tersenyum malu, Ia melihat kedua temannya yang tersenyum cerah.
Foto dirinya yang berantakan mereka abadikan, terposting bersama caption selamat diberikan.
Tama masih terenyuh, ia terbiasa tak dirayakan, ia tentu terkejut dan menangis keras saat tau mendapat ucapan dan sebuah kue tertulis namanya, meski tampa lilin.
"Kue darimana?" Ibu bertanya saat tama datang kedapur dengan pakaian yang dipenuhi tepung dan telur.
"Dari temen, dikasih" Tidak ada yang berubah, percakapan mereka tidak sehangat seorang anak dan orangtua.
Tama menyimpan kuenya di Kulkas, berharap belum ada yang memakannya lebih dulu, ia ingin mandi dan mencuci bajunya sendiri.
Meski dihari spesialnya, ia tetap merasa bersalah dan tidak berhak dirayakan, Tama berpikir, itu akan sangat merepotkan dan banyak mengeluarkan tenaga dan uang.
*Back to 6 years later
Tama sudah selesai dalam kelas kuliah pertama, akan ada jadwal berikutnya namun belum pasti jam berapa dan dimana.
Teman sejurusan Tama hanya terdiri 6 orang aktif termasuk dirinya, 3 perempuan dan 3 laki-laki, Tama tergolong aktif disemester awal ini, ia dengan sabar dan perhatian menanyakan kendala dan memberitahukan tugas yang belum jelas bagi sebagian teman, memberikan saran serta bantuan, terlebih dalam kerja kelompok, tanpa sadar ia bekerja lebih banyak dari pembagian tugas, memberikan bantuan lebih besar dari yang seharusnya, tanpa mengharapkan apapun, meski setelahnya, ia lelah dan jatuh sakit.
Entah mengapa, Tama merasa memiliki peran penting, ia tidak ingin orang disekitarnya merasa tertinggal arau sendiri, ia terus berusaha berada ditengah-tengah, berusaha tetap membantu meski dirinya pun sulit.
Ia benar-benar tidak ingin siapapun menjadi dirinya, kesepian dan tidak memiliki apapun.
Continued...
Terimakasih untuk yang sudah membaca chapter ini, maaf jika ada ketidakjelasan atau kesalahan dalam penulisan, akan kami perbaiki.
Saran dan Pesan diterima dengan hangat.
You don't need to run to catch up, just walk slowly and surely, the finish line is still waiting for you, believe it, God is good.

KAMU SEDANG MEMBACA
THE LAXYFER |
Teen Fiction20 tahun merupakan umur yang menjadi awal dari pendewasaan. Seorang remaja yang memulai jalan serta makna hidup baru, pun memiliki masalah baru serta tanggung jawab. Arkatama Laxyfer, Pria yang kini berusia 20 tahun, memulai pergantian umurnya sendi...