Bab 1: Penculikan

20 1 0
                                    

Aku menatap ke sebuah papan putih. Papan putih dengan penuh tinta merah disertai dengan benang yang membentang ke berbagai arah.

"Argh! Aku sama sekali tidak mendapatkan apa-apa," ucapku dengan nada kesal dan melemparkan spidol ke lantai. "Aku yakin bisa menemukan kakakku, aku yakin itu!" Tatapanku menatap ke salah satu potongan kertas koran bulan yang tertempel di papan.

Tiba-tiba terdengar ketukan pintu dari luar ruangan dan terlihat dua siluet orang berdiri tepat di depan pintuku.

"Pak, ada yang ingin berbicara dengan Anda," ucap salah satu dari siluet itu diikuti dengan ketukan pintu.

"Ok, silahkan masuk," ucapku merapikan semua barang yang berserakan di atas meja dan menutup papan menggunakan kain cokelat yang berada di dalam ruangan.

Mereka berdua akhirnya masuk dan ternyata itu adalah asistenku bersama kepala kepolisian di kota ini.

"Ada apa seorang kepala kepolisian mencari seorang detetif amatir dan ceroboh sepertiku?" Aku berjalan dan mengambil sebotol minuman beralkohol dan menuangkannya di dalam gelas sloki kesukaanku lalu meneguknya.

"Detektif Laiser, ada hal yang ingin kubicarakan." Wajah kepala detektif begitu tegang dan serius. Kerutan di dahinya menunjukkan dia sangat serius. "Ini mengenai kasus penculikan anak yang terjadi."

"Ah, kasus itu. Maaf aku sekarang tidak melayani kasus seperti itu lagi," ucapku berjalan membelakanginya. "Aku mengira kalian bisa memecahkan kasus itu tanpa bantuanku, bukan?"

"Kami juga mengira begitu, tetapi anehnya kasusnya belum selesai dan semakin parah," jelasnya dengan suara lesu. "Saya sendiri tidak mampu untuk memecahkannya. Setiap hari dering telepon dari kantor terus berbunyi dan semuanya menelepon karena anaknya hilang," ucapnya sambil menyeka keringat yang terus mengalir tiada henti hingga membasahi pakaian seragamnya.

"Jadi kamu ke sini berusaha hanya untuk membujukku agar kalian dipercaya di kota ini?" Aku berusaha menenangkan amarahku mendengar ucapannya. "Setelah apa yang kalian lakukan kepadaku, kalian masih berani ke sini!" Tanganku memukul meja hingga gelas sloki milikku pecah dan berserakan di lantai.

Kepala polisi tersebut menurunkan topinya dan menundukkan kepalanya. Ia terlihat sesekali memperbaiki kacamatnya. Dia hanya terdiam mendengar ocehanku. Badannya terlihat kaku dan tidak bergerak sedikit pun. Asistenku terlihat hanya menutup telinganya dan ikut terdiam.

Setelah beberapa lama, akhirnya perlahan amarah mulai mereda. Aku menarik napas dan memutuskan untuk berjalan ke luar dari tempat itu dan mencari udara segar.

Kepala polisi itu betul-betul tidak tahu diri.

Aku sangat marah ketika polisi amatir itu masih bisa muncul di hadapanku setelah mengatakanku gila. Aku pernah mengatakan bahwa kasus penculikan ini ternyata berkaitan dengan salah satu aliran sesat. Akan tetapi, kepala polisi itu hanya menganggapku gila dan aneh. Dia juga mengatakan kepadaku bahwa gelar detektif yang kumiliki karena peran dari saudaraku.

Saudaraku salah satu detektif terkenal yang berhasil hampir memecahkan semua kasus mulai dari yang sederhana hingga kompleks. Semua orang menganggapnya hebat dan berbeda jauh dengan diriku yang hanya seorang amatir. Sosoknya begitu dikagumi dan setiap orang yang mendengar namanya pasti berekspetasi lebih terhadap diriku.

Akan tetapi, tidak semua orang memiliki sifat yang sama biar kembar identik sekali pun. Namun, ada satu kasus yang membuat saudaraku tiba-tiba hilang ketika menangani kasus itu. Kasus penculikan anak yang sekarang sedang dibicarakan kepala detektif. Kepala detektif juga kebingungan memecahkan masalah itu dan kasus itu semakin lama semakin parah.

Aku membuka buku kecil cokelat dari dalam saku celanaku dan mulai membaca kembali setiap catatan yang kutuliskan. Jemariku tiba-tiba berhenti di sebuah tulisan yang membahas mengenai ritual darah.

Detektif LaiserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang