01: Murid Baru

54 11 16
                                    

"New school, new life"

Pemuda itu merasa begitu risih tatkala ia menyadari tatapan sinis orang-orang di sekitarnya tertuju padanya. Awalnya lelaki itu berusaha membiarkannya. Namun nyatanya, semakin lama dibiarkan maka semakin banyak pula orang yang menatapnya seperti itu. Bahkan kini berbagai celotehan dan sindiran mulai terdengar yang sudah jelas dilontarkan pada lelaki itu.

"That's enough!" bentaknya. Lelaki itu menatap nyalang semua yang ada di koridor satu persatu.

"Gue risih ditatap kayak gitu. Telinga gue capek denger sindiran lo semua. Don't you understand?" teriakannya bergema di sepanjang koridor kelas.

Lelaki itu menghembuskan napasnya kasar. Wajahnya kini berwarna merah padam karena terlampau kesal. Bagaimana tidak? Jika dihitung, sudah sekitar satu minggu ia diperlakukan seperti ini.

Salah satu dari mereka terkekeh pelan memecah keheningan. "Masih mending yang capek cuma telinga. Apa kabar si dia yang mentalnya ditindas terus? Hati sama jiwa raganya capek, anjir."

Lelaki itu mendesah pelan. Ayolah, ia sama sekali tak mengerti. Siapa 'si dia' yang mereka maksud? Otaknya tak akan kuat jika terus dipaksa untuk berpikir.

Tanpa membalas ucapan orang tadi, ia kembali melangkahkan kakinya menuju kelas yang sudah nampak di depan mata. Ia menyimpan tasnya di bangku miliknya yang terletak di paling pojok, kemudian terduduk di atasnya dan kepalanya ia tidurkan di atas meja.

Seseorang menepuk pundaknya, membuat ia kembali terduduk tegak. Didapatinya Terry -sang ketua kelas- bersama empat antek-anteknya berdiri di hadapannya.

Lelaki itu berdecak. "Lo," ucapnya sambil menunjuk Terry. "Kalau mau labrak gue gak usah bawa-bawa anak buah segala, bisa?" Lelaki itu kini menunjuk keempat teman Terry satu persatu, lalu berdecih. "Beraninya main keroyokan, mental patungan."

"Hey, calm down. Calm down, bro." Yoga, salah satu teman Terry bersuara. Tangannya beralih mengelus pelan punggung pemuda itu.

Terry terkekeh, lalu berdehem pelan sebelum membuka suara. "Hidup itu kejam, ya."

Lelaki itu mendelik. "Yea, I know. What's wrong with that?"

Terry mengangkat kedua bahu. "Ibaratnya, lo dulu cuma nge-bully satu orang. Tapi sekarang, lo jadi bahan bully satu sekolah. Kejam, kan?"

Lelaki itu mengernyit. "Maksud lo?"

Terry tertawa. "Roda kehidupan itu terus berputar. Yang diatas bakal ngerasain di posisi bawah, begitupun sebaliknya. Emang kejam, tapi adil. Lawak banget."

Lelaki itu mengusap wajahnya gusar. "Gue gak ngerti, Terry."

Satria, salah satu teman Terry berdecak-decak. "Masih belum sadar kesalahan lo apa?"

Lelaki itu mendengus. "Dosa gue gak cuma satu. To the point, bisa? Gue gak suka tebak-tebakan."

Terry menunjuk salah satu temannya dengan dagu, menyuruhnya untuk berbicara.

"Lo bully temen sekelas kita, temen sekelas lo sendiri. Ada anak-anak cewek yang laporin kasus ini ke pak KS. Yang ngadu bukan orang yang lo bully, tapi orang lain. Orang yang lo bully bukan pengadu," jelas seorang lelaki berhidung bangir bernama Kaisar dengan sengaja menekankan kalimat terakhir.

Changed Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang