Pintu terbuka setelah pin apartemen tepat dimasukan. Jake yang lelah hanya terfokus pada revisi, kamar, dan meja belajar. Desahan kecewa muncul ketika mendapati rak sepatu yang kosong, dan semua kondisi apartemen masih sama seperti ketika ia meninggalkannya di awal.
Jay belum kembali.
Berusaha untuk tidak menghiraukannya, Jake segera mencuci tangan, dan mempersiapkan dirinya untuk segera memperbaiki proposalnya. Tenggat waktunya tidak begitu dekat, hanya saja ia terlalu keras pada dirinya, dan memberi tekanan yang luar biasa hebat dengan target-targetnya.
Oke, sebatang saja. Aku butuh fokus. Pikirnya, lalu menyalakan batang rokok. Ia menghisap perlahan, membiarkan uap nikotin itu masuk ke tubuhnya, dan menghembuskan asap yang diikuti kepalanya sedikit ringan. Bebannya terbang sedikit, melalui asap itu. Beberapa menit setelahnya, batang itu memendek dan habis. Ia mematikan rokoknya dan tersisa abu hitam di asbak yang sudah penuh. Bisa gila, pantas saja Jay begitu marah.
Tapi, Jake tidak akan begini kalau Ayahnya waras. Jake tidak akan begini kalau Ayahnya memukul ibunya hingga kritis hanya karena menyuruhnya untuk istirahat sejenak dari belajar. Jake tidak akan begini, kalau ibunya bisa bangun lagi dan mendekapnya. Jake tidak akan begini kalau tidak harus mendatangi upacara pemakaman ibunya dua bulan yang lalu.
Jay mengerti, bagaimana sepupunya ini merasa begitu depresi, kecewa, marah, bahkan sedih yang tak terlampau. Dua bulan ini sangat sulit mengaturnya. Makan kalau benar-benar sudah Jay paksa, dan itu akan keluar lagi. Muntah, rokok, dan kopi. Seminggu awal Jake benar-benar tidak mengisi perutnya. Hanya merokok, dan minum kopi untuk terus terjaga mengerjakan seluruh tugasnya. Berakhir dengan Jay menemukan Jake yang kesadarannya minimal tersungkur di kamar mandi dengan tubuh yang sangat dingin dan menggigil, malamnya demam, dan paginya anak itu benar-benar tidak bisa melakukan apapun.
Menolak dirawat, hanya bisa memanggil Paman Seokjin untuk merawatnya di apartemen. Jay begitu sabar. Terlampau sabar. Berkali-kali di tolak, merengkuh Jake saat ia tidak bisa menghentikan tangisnya, menahan anak itu untuk terus menggigit bibirnya yang sudah banyak terluka dan berdarah, bahkan mengompresnya karena Jake jadi sangat sering demam. Tapi sepertinya, kesabaran Jay sedang habis hari ini.
"Jay.. aku pusing lagi," lirih Jake, meskipun tau presensi orang yang ia cari tidak ada.
"Ah, sialan." Ia meraih kasar tisu untuk menyeka mejanya yang terkena darah dari hidungnya. Jake mimisan.
Masa bodoh dengan pening dan mimisannya, anak ini terus menatap layar untuk merevisi bagian yang sudah dosennya tandai tadi, hingga yang ia ingat hanyalah seseorang meraih tubuhnya yang terhuyung ke depan sebelum menghantam meja, dan aroma tubuh yang menenangkannya, serta tepukan tangan kokoh yang selalu menguatkannya.
✧◝☆◜✧
KAMU SEDANG MEMBACA
the arcane and his haimish | Oneshot Jayke 2J Enhypen ✔️
FanfictionSingkat tentang Jay dan Jake, saudara sepupu yang selalu bersama sejak belajar bicara. Tentang semesta Jake yang terlampau kejam dan Jay yang selalu berusaha ada, setidaknya memastikan Jake bangun tiap paginya. Kelam menenggelamkan Jake, membuatnya...