Bait Dua

13 1 0
                                    

Aku merajuk pada takdir
Mengapa ia tidak mempertemukan kami lebih cepat?
Bagaimana jika aku terlambat?
-𝒶

📜

"Dan, mau kemana?" Dafa, teman sebangku Aidan, keheranan sewaktu Aidan meninggalkan bangkunya saat jam istirahat. Sebab, biasanya Aidan menghabiskan waktu istirahatnya dengan bermain game online bersamanya.

Dafa semakin terheran-heran saat Aidan meminjam cermin pada salah satu anak perempuan di kelasnya. Aidan merapihkan seragamnya, membenarkan posisi dasinya, serta mengatur rambutnya. "Sakit, Dan?"

"Iya kayaknya. Aku sakit banget." Merasa cukup, Aidan melepas pandangannya terhadap cermin milik Therre. "Re, aku udah cakep?" tanya Aidan.

"Cakep."

"Sip. Thanks."

Aidan berlalu meninggalkan kelasnya. Menyisakan Dafa dan Therre yang sama-sama kebingungan atas perubahan perilaku Aidan. "What's wrong sih itu temen lo?" lontar Therre dengan gaya bicara Jaksel-nya.

"Sakit."

📜

Nggak ketemu. Batin Aidan gusar.

"Lagian ini sekolah kenapa besar amat? Kalau nyari orang kan jadi susah?!" gerutunya.

"Emang nyari apa?" celetuk Thesa yang tahu-tahu berada di sebelah Aidan.

"Nyari orang lah, masa nyari perkara."

"Yee, sensi. Ikut nyoto aja yuk." Therre menarik tangan Aidan agar lelaki itu mengikutinya pergi ke kantin. "Aku yang pesen, kamu cari tempat duduk," kata Therre.

Aidan hanya mengangguk. Dia memilih duduk di kursi panjang dekat pintu. Sembari menunggu Therre memesan makanan, Aidan mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Siapa tahu dia menemukan apa yang ia cari sejak tadi.

Ketemu!

Perempuan yang baru saja masuk ke kantin bersama dengan kedua orang temannya, dia yang sejak tadi Aidan cari.

Meski begitu, Aidan tidak lantas menyapanya. Aidan hanya mengamatinya.

Lagi-lagi Therre muncul secara tiba-tiba, dengan nampan berisi makanan dan minuman. "Gausah bayar, aku traktir," kata Therre.

"Thanks."

"Ngelihatin siapa sih dari tadi, sampai segitunya?" Therre mengikuti arah pandangan Aidan. "Oh, ada Dabin? Dabin, makan sini aja!" seru Therre kemudian.

"Kenal?" tanya Aidan.

"Iya. Dabin 'kan anggota medis juga." jawab Therre seadanya.

Tak lama kemudian, Dabin datang dengan kedua temannya. "Boleh duduk disini nih, Mba?"

"Iya. Sini-sini."

"Makasih, Mba."

"Yoi. Sans aja."

Aidan mencoba sebisa mungkin untuk tetap cool meskipun perutnya sudah dipenuhi kupu-kupu. "Loh, kamu makan soto ngga pakai kecap atau sambel sama sekali?" Aidan salah fokus dengan kuah soto Dabin yang terlihat bening.

Dabin mengangguk. "Lebih enak makan soto nggak pakai apa-apa, Mas. Segernya kerasa."

"Salut."

Kemudian salah satu teman Dabin ikut menanggapi, "apa cuma aku kalau makan makanan berkuah harus pakai sambel sama kecap yang banyak banget, sampai kuahnya kentel gini?"

Aidan hanya meliriknya sekilas, menanggapinya dengan tawa kaku. Kemudian dia menoleh lagi pada Dabin. "Kapan-kapan mau coba juga deh makan soto ala kamu."

Merasa ada sesuatu yang janggal, mata Therre memincing. Menelisik wajah Aidan dan Dabin bergantian.

"Kalian kenal?" tanya Therre.

"Iya," jawab Aidan.

"Iya. Kenal nama doang sih, Mba," tambah Dabin.

"Oh. Kirain ada apa gitu. Soalnya kalian kelihatan gugup dari tadi."

Sontak Aidan maupun Dabin tersedak, sama-sama tidak menyangka kalau kegugupan mereka ternyata disadari Therre.

Duh, Therre ini! Batin Aidan.

"Apa sih, Re," timpal Aidan. "Fokus makan aja, tuh ntar kemasukan lalat mampus."

Setelah itu, masing-masing dari mereka fokus menikmati kudapan siangnya. Aidan terkadang mencuri pandang kearah Dabin.

Dabin ketika makan, makanannya terkumpul menjadi satu di pipi kanannya. Aidan tersenyum kecil.

Lucu, mirip hamster.

📜

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 04, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

An Untold FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang