Di penghujung hari itu, di atas beton pembatas, Yoongi sudah memantapkan diri untuk mengakhiri segalanya. Hembusan angin beraroma tanah basah turut mengayunkan sepasang tali sepatunya yang sengaja tidak diikat dengan benar.
Dari tempatnya berdiri, pemuda Min tersebut mampu melihat garis jingga yang sebentar lagi akan tertelan langit malam.
Kini ia paham apa yang dimaksud oleh kalimat dari buku bacaan terakhirnya, bahwa langit akan menunjukkan pesona terbaiknya di saat hidupmu berada dalam posisi terburuk. Untuk menghibur, kata si penulis. Namun baginya, itu lebih terdengar seperti langit sedang menertawai nasibmu, bak tragedi yang pantas dipertontonkan di depan manusia-manusia haus komedi.
Sedikit lagi, pikirnya.
Yang dia butuhkan hanyalah mengurangi sedikit kontrol keseimbangan pada kaki-kakinya. Lalu, angin akan mengambil alih kendali sebelum tubuhnya menyentuh bumi kembali. Yoongi memutuskan untuk melakukanya saat garis cahaya tipis itu lenyap sebab angin lebih kencang di waktu itu.
Sedikit lagi dan segalanya akan berakhir.
Sebentar lagi, dan semua perasaan menjengkelkan itu akan lenyap tanpa sisa.
Dia mulai menghitung mundur saat tak ada lagi garis cahaya yang bisa dia lihat.
Namun di sana, apa yang terjadi selanjutnya bukanlah hal yang diharapkan oleh Yoongi.
Sebab di waktu yang sama, sebuah tarikan pelan dari arah belakang pada jaketnya justru membuatnya tetap berada di posisi yang sama. Dengan cepat dia memutar kepala untuk menemukan sosok yang berani mengganggu urusannya, hendak memaki apabila pendengarannya tidak menangkap sebuah suara.
"Mati tidak akan membuat amarahmu hangus begitu saja." Suara dalam dan rendah. Dia mengenal si empunya dengan baik. Pemuda pemilik suara khas namun tidak sinkron dengan wajahnya, alias si bungsu dari keluarga Kim.
Menapik tangan yang memegangi ujung jaketnya, Yoongi berdecak kesal ke arah yang lebih muda. "Tutup mulutmu jika kau tidak tahu apa-apa."
"Aku tahu," sahutnya. Nada suaranya mengejek Yoongi kendati tidak ada ekspresi yang ditunjukkan di wajah itu. "Kau kesal karena orang—"
"Kubilang, tutup mulutmu, berengsek!" Kecamnya dalam peringatan. Tangannya seketika membetuk kepalan keras yang siap menghajar pemuda itu sewaktu-waktu. Mata kucingnya menatap Taehyung dengan ledakan emosi yang gagal dia bendung.
"Kenapa?"
Kenapa apanya? Bukankah hal itu sudah jelas?
Yoongi membenci kekacauan hidupnya disuarakan melalui mulut siapa saja. Tapi bocah ingusan ini berani menyebut hal itu, dan yang paling utama, dia baru saja mengganggu urusan pribadinya.
Si Min tersebut berniat untuk tak acuh dan kembali ke posisi semula, melanjutkan kegiatannya yang tertunda.
"Kenapa malah kau yang harus melakukan ini?" Taehyung bertanya seolah dia tidak mengharapkan jawaban darinya sama sekali. Nadanya masih terdengar mengejek saat sebuah kekehan lolos dari belah bibir itu. "Mengesalkan, bukan, untuk menjadi boneka orang lain dan tidak tahu cara melenyapkan amarah itu?"
"Sial. Apa maksudmu?"
"Aku bisa membantumu." Kali ini Taehyung tersenyum. Itu tampak menyebalkan di mata yang lebih tua. Akan tetapi, Yoongi mendadak merasakan sesuatu yang aneh sedang terjadi. "Datang padaku, Hyung."
...
Setelah kalimat ajakan Taehyung, Yoongi merasa seakan-akan dirinya tengah dalam efek hipnotis sehingga tak mampu menolak uluran tangan berkulit madu di hadapannya. Itu barangkali merupakan sebuah pesona—atau mungkin, itu hanya karena dirinya tak benar-benar ingin mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
ease.
FanfictionYoongi baru saja akan mengakhiri hidupnya dalam satu kejapan mata sebelum sebuah tangan menarik ujung jaketnya, menawari sebuah cara lain untuk melampiaskan emosi yang sudah memuncak. "Aku bisa membantumu." Kali ini Taehyung tersenyum. Itu tampak me...