Tempat bersandar
"Bumi, nggak semua hal bisa lo tangani sendirian, lo pendam sendirian. Kita pasti butuh seseorang untuk seseorang yang lain. Karena pada dasarnya, manusia itu hidup bersosial, kan?" ucap seorang wanita bernama Mentari yang saat ini menjelma sebagai seseorang yang paling mengkhawatirkan keadaan lelaki yang terus melangkah tanpa berniat menjawab setiap hal yang dikatakan olehnya. Namun sepertinya, kali ini berhasil. Lelaki tersebut menghentikan langkahnya, berbalik menatap Mentari.
"Mentari, ada kala manusia hanya mampu percaya dan bertumpu pada dirinya sendiri," jawab si manusia paling aesthetic yang pernah Mentari kenal.
Bumi, si lelaki biasa dengan segala kesederhanaannya. Dia hanya ingin hidup sederhana namun bersahaja, itu tujuannya. Satu lagi, Bumi adalah lelaki yang berprinsip. Tidak mudah goyah apabila ia sudah berpegang teguh pada pendiriannya. Katanya, dia ingin menjadi lelaki sejati seperti ayahnya. Lelaki hebat yang berhasil dan mampu membawa keluarganya ke kebahagiaan dan kesederhanaan. Lelaki yang katanya hanya mencintai dua wanita sepanjang hidupnya. Neneknya dan Ibunya. Lelaki sejati yang memperlakukan wanita dengan penuh kelembutan. Bayangkan, betapa beruntungnya bila menjadi salah satu wanita tersebut.
"Gue baik-baik saja. Lo nggak perlu khawatir. Saat ini gue cuma perlu sendiri, gue harap lo ngerti," lanjut Bumi dengan wajah ramah seperti biasanya.
"Bohong! Gimana gue nggak khawatir, Mi. Sudah jelas lo nggak baik-baik saja, tapi masih bohong. Kalau gue tinggalin lo sendirian, terus tiba-tiba lo ingin bunuh diri, gimana? Secara nggak langsung lo juga menghukum gue, karena gue nggak ada di saat lo lagi kayak gini."
Bumi tersenyum sembari menoyor pelan kening Mentari dengan jari telunjuknya. "Ngaco. Kalau pun gue lagi nggak baik-baik saja. Gue masih waras. Nggak kayak lo mikirnya macem-macem."
"Yaaa..kan. Gue cuma takut aja. Bumi-nya gue nggak ada lagi di Bumi, kan nggak lucu."
"Sejak kapan Buminya gue jadi Bumi lo?" Mentari terdiam antara bingung dan kaget.
"Bercanda." Bumi menatap Mentari kali ini terlihat benar-benar serius.
"Tar, masih ada hal yang harus gue jaga di bumi ini. Dan gue nggak akan ngelakuin hal bodoh yang bisa buat mereka kehilangan segalanya."
Mentari tersenyum, "dan gue bakalan ada buat lo. So, jangan nanggung semuanya sendirian ya, Mi. Andelin gue aja, susahin gue. Gue siap."
"Seperti tempat bersandar?" tanya Bumi berhasil membuat Mentari melotot.
Bumi tertawa melihat ekspresi spontan dari Mentari.
"Ya, tempat bersandar boleh juga," kali ini gantian Bumi yang terdiam.
"So, apapun itu namanya. Gue harap kita bisa saling mengandalkan, karena kita teman kan?" Bumi mengangguk.
"Terimakasih Mentari, Sekarang, boleh kan gue sendiri dulu? Gue butuh waktu untuk berpikir."
Akhirnya Mentari memutuskan untuk mengalah setelah memastikan kalau Bumi tidak akan melakukan hal bodoh, karena memang masih ada beban besar yang harus ia tanggung di pundaknya yang terlihat kekar, tapi sedang rapuh itu.
"Take care." Bumi mengulas senyum terakhir kali sebelum benar-benar pergi untuk menenangkan diri, meninggalkan Mentari yang masih menatap punggung lebar milik lelaki yang sedang tidak baik-baik saja itu semakin menjauh.
"Gue cuma berharap, lo bisa kembali baik-baik saja, Mi."
Halooooooo! hai hai semuaaaaa...
I'm back setelah sekian lama. Bantu aku dengan dukungan kalian!
Jangan lupa vote guyssss... terimakasih ^_^ ILY :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumi Mentari (Kita Semua Menangis Dengan Cara Berbeda)
Teen FictionAda yang berani secara jujur untuk mengungkapkan apa yang dirasa. Ada yang takut untuk jujur tentang rasanya. Bahkan ada yang menutupi rasanya dengan tawa. Kita semua menunjukkan rasa dengan cara yang berbeda. Kita semua menangis dengan cara yang...