1. Pindahan

13 1 0
                                    


Are you ready, kids?

"Aye, Aye. Captain!"

I can't hear you!

"Aye. Aye Captain!"

Oooooooooooooooooooooo, who lives in a pineapple under the sea?

"SPONGEBOB SQUAREPANTS!" teriak anak perempuan berusia 9 tahun menirukan lagu dari cartoon yang masih ditonton olehnya. Dengan santai dia masih duduk di sofa, sementara penghuni rumah lainnya sibuk mondar-mandir sambil membawa barang-barang dibantu satu orang pekerja yang sengaja disewa oleh sang pemilik. Belum saja dia ketahuan.

"BULAN! Masih bisa nonton ya?!" dan benar saja, pelototan diberikan oleh sang kakak yang terpaut lima tahun dari anak perempuan bernama Bulan tersebut.

"Hehe, my fav cartoon."

"Sekarang sudah pintar ngejawab yaa!"

"Ya, kan. Kalau nanya harus dijawab, kak. Selagi Bulan tahu, kata ayah." Bulan memamerkan giginya yang putih dan rapi untuk anak seusia 9 tahun.

"Terusssss???" sang kakak yang bernama Bintang itu menggulung baju lengan panjang yang ia gunakan sampai ke siku dengan wajah yang menunjukkan bahwa ia sedang marah dan tidak bercanda.

"Ampuuunnnnn, kak! Okeoke, Bulan matiin tvnya." Bulan berbohong ia malah kabur ke pelukan ayahnya yang kebetulan baru saja masuk.

"Ayaahhhh... Kak Bintang galak tuh! Liat tuh, udah siap-siap mau cubit Bulan tuh." Ayahnya tersenyum melihat kedua putrinya yang memang sering bertengkar.

"Hmm.. Bulannya nakal, tidak? Kak Bintang nggak mungkin mau cubit tanpa alasan yakan?"

Bintang mengangguk, "Iya, Bulan nya bukan bantu malah asyik nonton tv. Padahal si mas pekerjanya mau coba pindahin tv nya." Si mas tukang yang namanya disebut senyum-senyum malu karena gerak-geriknya ketahuan.

Sang ayah menatap ke arah putri bungsunya yang sudah cengengesan. "Kan Bulan nggak tahu, Yah. Nggak lihat si mas nya ternyata nungguin, Sudah gitu kan, film kesukaan Bulan, yah."

"Tuhkan tuhkan, yah. Liat tuuh, dibilangin masih bisa ngejawab mulu anaknya."

"Lain kali, jangan kayak begitu ya, Bulan. Bulan harus lebih peka sama keadaan di sekitar, nggak boleh egois. Orang-orang lagi pada sibuk bantu-bantu Bulan malah asyik sendiri. Nggak boleh gitu, ya?" Bintang menjulurkan lidahnya karena telah dibela oleh ayahnya.

"Dan kalau sudah tahu salah harus bilang?

"Maaf," Bulan malu-malu.

"Bilang maafnya ke siapa?" tanya sang ayah lagi. Bulan menghampiri si mas tukang, "maaf ya, mas. Bulan nggak tahu mas nya mau pindahin tvnya."

"Oh yoo, ndak apa-apa, toh de," si mas tukang ikut merasa sungkan sekaligus salut melihat didikan dari sang ayah. Kemudian izin melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.

Bulan kemudian kali ini menghampiri kakaknya, "Maafin, Bulan juga ya, kak. Sudah ngelawan," Bintang tersenyum sembari mengacak-acak rambut adiknya gemas. "Makanya, jangan bandel."

"Eh... ini ada apa malah ngumpul di sini?" sang ibu yang tadi masih sibuk mengepak di kamar keluar begitu melihat kedua putri dan suaminya berkumpul di ruang tamu bukannya lanjut rapi-rapi.

"Ibu..." Bulan memeluk ibunya yang baru datang.

"Tuhh.. paling mau ngadu lagi yah," Bulan mengerucutkan bibirnya.

"Yaudah ayo-ayo lanjut beres-beres biar nggak kesorean berangkatnya. Perjalanan kita masih panjang, kasian juga tuh kak Bumi kerja keras daritadi," suruh sang ayah matanya mengarah ke putra sulungnya yang dari jauh sudah berkeringat karena mengangkut-angkut barang ke mobil.

"Iya, iya gih bantu kakak kalian. Ibu buatin makanan dulu." Sang ibu langsung berjalan menuju dapur, Bulan dan Bintang merapikan barang-barang kecil untuk dimasukkan kedalam kardus. Dan para lelaki mengangkat barang-barang berat dan membawanya ke mobil.

---

"Kita salah ambil jam rupanya, yah. Sore begini, kota sedang ramai-ramainya karena para pekerja baru pulang," Binar sang ibu mengeluh, melihat panjangnya kendaraan yang berhenti.

Pukul 16.00 jalanan kota memang ramai oleh para pekerja kantoran yang baru saja mengakhiri aktivitasnya. Baik pengguna jalan kaki, kendaraan roda dua maupun roda empat memadati jalan raya.

"Iya, tapi nggak akan lama juga paling bu." Ayah berusaha menenangkan.

"Sepertinya akan hujan pula,"

"Ya nggak apa-apa, Bu. Toh, kita juga di dalam mobil tidak akan kehujanan." Sementara Ibu ayahnya asyik berdebat. Bumi yang duduk di sebelah ayahnya menatap keluar jendela, menyaksikan pemandangan kota yang dijuluki kota kembang dengan seksama. Sebentar lagi, mereka sekeluarga akan meninggalkan kota tersebut untuk pergi ke kota hujan di Bogor. Kota tempat kelahiran ayahnya. Keluarga Banyu Dirgantara. Sementara tempat kelahiran Ibu, jauh di sebuah provinsi paling selatan pulau Sumatra, Indonesia. Lebih tepatnya lampung. Di Lampung pula lah pertama kali Ayah bertemu dengan Ibu. Hingga akhirnya mereka sama-sama merantau ke kota kembang sampai Ayah memutuskan untuk menikahi Ibu dan lahir lah ketiga buah hati yang kini sudah tumbuh besar. Bumi, Bintang, Bulan.

Sebenarnya bukan keputusan mudah bagi kami sekeluarga untuk meninggalkan kota yang menyimpan banyak kenangan, terutama bagi ibu dan ayah. Namun, karena ayah diberi tanggung jawab untuk mengurus perusahaan cabang tempat ia bekerja berada di Bogor. Mau tidak mau, ayah harus kembali ke kota kelahirannya. Kota yang sebenarnya bisa memberikan kesedihan untuk ayah, karena di sini lah ia harus menjadi yatim piatu sejak dini. Namun, tidak dipungkiri ayah juga merindukan kota ini. Setidaknya di sini lah ia tumbuh.

"Maafkan ayah ya, Bintang Bumi. Padahal kalian sama-sama sudah mau kelas tiga, tapi kita malah harus pindah," ucap Ayah sambil menyetir wajahnya menunjukkan bahwa ia benar-benar menyesal.

"Nggak apa-apa, yah. Lagipula, tidak begitu banyak kenangan juga," jawab Bumi santai.

"Nah, ini yang ayah khawatirkan dari kalian berdua. Kalian sama-sama kesulitan dalam beradaptasi,"

"Ayah tau darimana?" tanya Bintang.

"Melihat raportmu."

"Memangnya sulit sekali bagi kalian untuk mencari teman?" Ayah melirik ke Bumi yang duduk di sampingnya dan Bintang dari kaca spion.

"Tidak juga," jawab Bintang singkat.

"Lalu?"

"Nggak apa-apa. Sudah ya, Bintang mau tidur yah," pamit Bintang tidak ingin membahas lebih jauh. Ia memilih untuk memejamkan matanya mengikuti jejak adiknya Bulan yang sudah terlelap. Sementara Binar, yang setengah tertidur menatap suaminya dari balik kaca ikut merasa cemas dengan sifat putri kedua dan putra sulung mereka yang hampir mirip, entah turun dari siapa.

Banyu menatap putra sulungnya kembali karena belum mendapat jawaban, "jangan terlalu kaku, baik-baiklah dengan temanmu di sekolah baru ini,"

"Ah, masih tentang aku yang tidak pandai bersosialisasi?"

"Benar. Bagi ayah pun, kamu memang tidak pandai berteman."

"Bukan begitu, hanya saja belum ada yang cocok."

"Iya iya. Ayah berharap semoga kali ini kamu mempunyai teman, Ya. Bersosialisasi juga cukup penting. Jika terlalu kaku nanti hidupmu akan sulit."

"Kata Ayah yang penting berprinsip dan punya tujuan yang jelas."

"Ya, itu juga penting. Tapi, jika bisa keduanya kenapa tidak?"

"Lalu yang lebih diutamakan yang mana?" Banyu menatap putra sulungnya sambil menunjukan 2 jarinya, "dua-duanya?"

"haha..

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 30, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bumi Mentari (Kita Semua Menangis Dengan Cara Berbeda)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang