Kata orang, Kafi itu tampan.
Kata orang, Kafi itu cerdas.
Kata orang, Kafi itu baik.
Kata orang, Kafi itu sopan.
Kafi itu teladan sekolah. Kata bu Guru, harus dicontoh.Bahkan, kata salah satu teman yang satu kelas denganku, Kafi itu sempurna.
Aku memang setuju dengan yang dikatakan setiap orang kalau Kafi itu tampan. Sedikit, tetapi. Dan tentang cerdas, dia memang benar-benar cerdas—atau lebih tepatnya jenius. Tapi untuk hal lainnya, apalagi bagian ia adalah manusia sempurna dan teladan sekolah yang harus dicontoh, aku tak akan sekalipun menganggukan kepala untuk mengiyakan hal itu. Memangnya Tuhan? Main sebut sempurna saja. Memangnya dia anak osis yang sok baik di hadapan guru tetapi sombong di hadapan yang lain, harus dicontoh keteladanannya? Aneh. Dia saja bukan salah satu anggota organisasi sekolah, apalagi organisasi siswa intra sekolah. Memainkan futsal dan basket saja hanya sekedar melepas jenuh. Tapi kenapa mereka selalu memuja Kafi bahwa dia anak teladan, disaat aku yang notabennya kenal padanya sejak kecil tak pernah merasa kalau dia itu adalah murid teladan.
Sewaktu SD, Kafi selalu menghilangkan dasiku setiap hari Senin. Hingga aku harus membersihkan jendela setiap pagi selama tiga hari berturut-turut dalam seminggu tiap dasiku dihilangkan olehnya. Sangat terbalik saat dasi Kafi hilang, atau dia lupa membawa barang itu, aku rela memberikan dasiku pada Kafi walau harus membersihkan jendela luas yang selalu membuatku kewalahan. Aku tak pernah absen mengutuk diriku sendiri setiap hari kenapa aku begitu bodoh dan malah memberikan dasi itu pada Kafi. Ditambah lagi, tanganku sendiri yang memasang dasi milikku pada kerah baju lelaki itu. Membuatku mual ketika membayangkannya lagi.
Saat kelulusan SD tiba, kami satu sekolah lagi di jenjang berikutnya. Sebenarnya, Kafi yang mengikutiku ke sekolah yang aku mau. Lubuk hatiku yang paling dalam masih selalu mengoceh kenapa aku dulu bodoamat dengan hal itu. Semasa itu Kafi menggangguku tak henti-hentinya, sampai aku muak dan mogok sekolah selama sepekan. Beruntungnya wali kelasku tak menyerah membujukku untuk kembali sekolah dengan iming-iming kalau kelas Kafi dipindahkan dan beliau menjamin Kafi tak akan menggangguku lagi.
Seingatku kejadian itu saat kami berada di semester genap kelas awal. Dan memang benar, Kafi tak menggangguku lagi selama aku sekolah. Tapi yang perlu kalian garis bawahi, adalah Kafi tak menggangguku lagi selama aku sekolah, itu artinya kalau di luar sekolah dia masih menggangguku. Aku sebal dan bilang kepada mama kalau aku mau pindah sekolah saja. Karena waktu itu mama sudah capek dengan semua keluhanku tentang Kafi, akhirnya mama membantu aku meyakinkan ayah, dan aku tinggal di rumah oma untuk sementara waktu.
Aku bersekolah di sana selama kurang lebih dua tahun. Memang perlu banyak waktu untuk menyesuaikan diri di sana karena aku tidak terbiasa dengan suasana belajar di pedesaan, dikarenakan metode mengajar yang diterapkan berbeda dengan sekolah yang pernah aku singgahi sebelumnya. Tapi itu lebih baik daripada harus bergelut dan melihat wajah Kafi tiap harinya.
Dan.. sekarang.. aku tak tahu harus menyikapi orangtuaku dengan sikap seperti apa lagi. Mama sudah membawa ayah ke tempat oma. Itu artinya aku harus menuruti perintahnya sekarang walaupun aku tak nyaman dengan pilihan yang akan mereka pilih.
"Lagian kenapa sih, Mi, kamu tuh kerjaannya ngehindar mulu dari Kafi! Kafi cuman mau main sama kamu, kamunya aja yang waktu SMP terlalu fokus kejar target belajar sampe kamu mimisan keluar-masuk rumah sakit! Kamu tuh, ya, orangnya gak pekaan! Kafi tuh pingin kamu enggak belajar mulu, kasian badan kamu kalau overworking gitu. Sekarang pokoknya pulang! Mama gak mau tau, kamu kalau minggu ini enggak ada di rumah mama sama ayah, kamu keluar dari kartu keluarga! Ikut oma aja di sini!"
"Yaudah aku ikut oma aj-"
"Miwa."
Skakmat.
Ayah sudah memanggil namaku seperti itu, membuat bulu kudukku berdiri tak semestinya.
"Iya, iya.." Aku mengangguk pasrah lalu menghampiri oma yang sibuk menata makanan di meja makan.
"Tapi Oma gimana di sini sendirian?" Mulutku berusaha mengeluarkan suara dan melontarkan kalimat retorik untuk mengecoh ayah dan mama yang sedang fokus pada gadgetnya masing-masing, berusaha sebisa mungkin mencari celah agar bisa tetap tinggal di sini.
"Oma kan emang biasanya sendiri, Miwa. Opa sebentar lagi pulang, terus Mas Bidzar katanya mau move ke sini nemenin Oma."
Takdir sudah tak memihakku lagi, sepertinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAFI! | HAECHAN NCT
Fanfiction"Ketemu Kafi adalah hal yang paling buruk yang pernah terjadi di hidup gue!" Itu kata Miwa sebelum nempel-nempel dan akhirnya nyaman sama gue, -Kafi Haechan as Kafi Kalandra Oc as Miwa Zahira Disclaimer; fiction. Started : May, 11-2022