[тняєє]

25 9 0
                                    

Aeri keluar dari kamarnya dengan terburu-buru. Ia menyambar tas dengan asal. Namun, ia belum sempat merapikan seragam yang telah dikenakannya.

Bisa dirapikan di mobil, pikirnya tadi.

Alasan tergesa-gesanya hari ini adalah karena tadi pagi yang tiba-tiba Yoshi meneleponnya, lelaki itu bilang kalau Park Jihoon adalah siswa yang rajin datang pagi. Jadi Aeri harus berangkat pagi juga untuk mendapat kesempatan bertemu dengan Jihoon saat sampai di sekolah.

Namun, saat ia datang ke meja makan, belum ada satu makanan pun yang tersaji. Ia celingukan kesana-kemari mencari jejak-jejak sarapan yang mungkin sudah dipindahkan ke tempat lain.

Tiba-tiba Yeseul keluar dari kamar dengan berpakaian rapi dan terburu-buru.

"Mama mau ke mana?" tanya Aeri begitu melihat wanita paruh baya itu menuju keluar rumah dengan tergesa-gesa.

"Ke bandara, jemput papa," jawab Yeseul tanpa menatap Aeri.

"Sarapannya mana?" tanya gadis itu khawatir, karena ia juga sedang terburu-buru.

Yeseul mendengus. "Aduh, Ri, kamu nggak lihat mama lagi buru-buru begini? Kamu bikin sendiri aja deh sarapannya. Tuh, di kulkas ada telur, atau kalo mau bikin yang lain, terserah lah pokoknya!" tutur Yeseul seraya memakai sepatu heels-nya.

Aeri menatap mamanya dengan tatapan datar. Dalam hatinya ada seribu perkataan yang ingin ia lontarkan, tetapi tidak bisa.

"Nanti supir papa bakal jemput kamu setengah jam lagi, jadi siap-siap aja," pesan Yeseul sambil berjalan ke arah taksi yang sudah menunggu di depan rumahnya. "Mama berangkat dulu, ya?"

Setelah taksi yang membawa Yeseul pergi dan menghilang di tikungan jalan, Aeri masuk ke dalam rumahnya dengan langkah gontai.

"Masa nggak ada waktu buat masak, sih?" gerutunya sambil membuka kulkas dan mendapati beberapa butir telur di bagian pintu.

Aeri menggorengnya dengan perasaan kesal yang memenuhi dada. Makan pun hanya beberapa suap saja, tidak nafsu seperti biasanya.

"Mana juga katanya supir mau datang setengah jam lagi?" Aeri mengacak-acak rambutnya yang tadi sudah rapi.

Gadis itu menunggu hingga jam tujuh, tetapi supir belum juga datang, padahal ia masuk jam 07:30. Ia merasa gelisah hingga keringat dingin mengucur di pelipisnya.

Dengan perasaan cemas karena ini sudah terhitung terlambat bahkan dibandingkan kemarin.

"Yoshi mau jemput nggak, ya?" Aeri mencoba menghubungi Yoshi.

Kedua kakinya sudah tidak bisa diam sejak tadi. Beberapa kali juga ia meremas rok seragamnya. Matanya tidak bisa berhenti menatap keluar rumah.

Aeri menyerah. Yoshi tidak bisa dihubungi, ponselnya dinonaktif. Akhirnya, ia buru-buru menyambar kunci rumah lalu mengunci pintu masuk dan pagar, kemudian sekuat tenaga ia berlari menuju sekolahnya. Padahal ia tahu ini agak mustahil karena jarak dari rumah ke sekolahnya hampir 8 km.

Aeri memilih untuk melewati jalan-jalan pintas yang ia tahu. Beberapa kali dirinya hampir tertabrak motor karena tidak hati-hati dalam berlari. Namun, ia tidak peduli. Yang penting sekarang ia harus sampai sekolah secepatnya.

Napasnya tersengal-sengal. Bahkan wajahnya kali ini sudah penuh dengan peluh.

BRUKK!!!

Aeri tersungkur. Wajahnya yang mencium aspal duluan. Pelipisnya robek, darah mengucur darinya. Lututnya terluka, begitupula dengan tangannya.

Ia mengerang kesakitan.

escapeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang