18. Personil Baru Eden.
***
Kita dalam kehidupan itu ibarat kendaraan, dan Tuhan menjadi tujuannya. Semua jalannya sudah di tentukan, lalu kita hanya perlu memilih, melewati jalan yang berliku tapi butuh waktu lama, atau yang berkerikil tapi cepat. Setiap perjalanannya pasti tidak akan selalu mulus. Kadang, kita dihajar habis-habisan oleh masalah yang bertubi-tubi. Tapi, dari situlah kita akhirnya belajar, bahwa kehidupan itu punya banyak warna.
Jerdian menghirup napas dalam-dalam sembari membenarkan senar gitarnya yang putus. Setelah perdebatan yang sengit antara dia dan kembarannya, cowok itu memilih untuk mencari kesibukan. Mengalihkan segala rasa sakitnya. Dia menyadari, bahwasanya sampai detik ini, dua hal paling sulit yang coba ia lakukan adalah berdamai dengan keadaan, dan berdamai dengan dirinya sendiri.
Jerdian mengambil sebuah buku yang disembunyikan di balik bingkai foto yang menggantung. Pelan-pelan ia membuka tiap lembarnya, sampai akhirnya berhenti di sebuah lembaran kosong. Dia mulai menulis kosa kata yang kadang kala berhasil menampar dirinya sendiri.
'Kalo ingin bahagia, lepas lah yang menyakitkan. Kita tidak bisa serakah, dengan merasakan dua perasaan sekaligus.'
Jerdian tersenyum kecut. Selama ini dia berusaha mengikhlaskan semua yang terjadi dalam hidupnya, tapi tak di ungkiri bahwa ia pun kadang merasa letih. Setidaknya, bisakah ia merasakan bahagia yang sebenarnya? Bahagia yang timbul bukan karna keterpaksaan.
Tiba-tiba, pikirannya mundur, mengingat ucapan ketika ia mengunjungi makam almarhum bundanya.
"Bun, maaf, Ian nggak bisa nepatin janji Ian buat baikan sama Juandra sekarang." Nada bicaranya lirih, sarat akan penyesalan. Ia menyesal telah membuat janji yang pada akhirnya tak bisa ia tepati.
Saking lelahnya Jerdian melamun, ia sampai tak sadar sudah tertidur dengan posisi duduk, kepala ditumpukan di antara lipatan tangan.
Tiba-tiba, pintu kembali terbuka, menampilkan sosok laki-laki yang kini berjalan mendekat ke arah ranjang Jerdian. Tangannya terulur, mengambil selimut tebal untuk menutupi tubuh seseorang yang kini tengah terlelap. Mata nya mengedar ke segala sudut di kamar ini. Kamar yang menjadi saksi bisu pertumbuhan seorang anak laki-laki bernama Jerdian.
"Maaf." Satu kata yang terucap lirih itu memenuhi isi kamar Jerdian. Di ikuti dengan sebuah usapan lembut di kepala cowok itu.
Hampir tak ada yang tahu, jika seseorang yang tengah menatap lekat ke arah Jerdian itu, selalu datang di tengah malam, mengucapkan kata yang sama, sirat akan sebuah penyesalan dan rasa bersalah yang bertahun-tahun melingkupi hidupnya. Jerdian terlalu banyak terluka dengan semua ucapannya.
***
Pagi-pagi, Juandra sudah kelimpungan sendiri, semalam ia tak jadi mempelajari materi untuk olimpiade, karena terlalu sibuk memikirkan kembarannya. Hari ini, ia memutuskan untuk ikut menumpang di mobil Jemian. Satu mobil yang di isi oleh tiga orang berwatak keras kepala itu akhirnya perlahan melaju, meninggalkan pekarangan rumah.
Ketiganya, sibuk dengan kegiatan masing-masing. Jemian yang sibuk menyetir sembari mengecek pekerjaan di ponselnya, Juandra yang fokus membaca catatan di buku tulis, sedangkan Jerdian tengah asik melukis di buku sketsa miliknya.
Hampir dua puluh menit berlalu, akhirnya mereka sampai di depan gerbang sekolah. Jerdian keluar lebih dulu tanpa sepatah kata pun.
"Ayah, nanti sehabis pulang sekolah, aku mau pergi sama Ian. Ayah nggak usah jemput ya." Jemian hanya mengangguk, lalu setelahnya, tubuh Juandra sudah keluar dari dalam mobil.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Sisi (Sudah Terbit)
Teen FictionJerdian dan Juandra, si kembar yang berlomba-lomba untuk menutupi lukanya masing-masing. Terlihat saling ingin menjatuhkan, padahal mereka saling sayang. Mereka hanya tak tau bagaimana caranya menunjukkan rasa sayang seperti orang pada umumnya. Mamp...