1. Pertemuan Pertama

34 4 2
                                    

Memasuki bulan september, perkuliahan kembali dimulai. Selama kurang lebih 3 bulan libur sebagaimana perkuliahan pada umumnya, Juandra—atau lebih akrab disapa Juan, tentu tidak menikmatinya. Sebagai mahasiswa semester tua, ia justru semakin disibukkan dengan menggarap skripsi dan bimbingan. Waktu yang katanya libur itu hanyalah masa lalu baginya. Sebab, mungkin sekitar satu tahun yang lalu, ia terakhir kali masih bisa merasakan libur dalam waktu selama itu.

Suasana kos masih begitu sepi. Wajar saja, kebanyakan penghuni kos merupakan adik tingkatnya yang mana beberapa dari mereka masih banyak yang belum datang dari kampung halaman. Kos dengan dua lantai itu menjadi huniannya selama lebih dari 3 tahun ini.

Juan dengan kemeja biru dongker dan celana bahan warna hitam yang melekat di tubuhnya kemudian berdiri setelah selesai memasang sepatu.

"Astaghfirullah..."

Juan hampir terantuk undakan ketika ia mendongak dan menemukan muka bantal Septian berada tepat di depannya.

"Lo ngagetin aja dah Sep!" Maki Juan kepada teman satu kosnya itu, yang mana mereka merupakan satu angkatan di fakultas yang sama.

"Sap sep sap sep. Udah bagus-bagus bapak gue kasih nama Arjuna Wira Septian, lo seenak udel manggil gue begitu." Gerutu Septian karena merasa tidak terima dipanggil begitu oleh Juan.

Juan yang memang pagi itu hendak pergi ke kampus untuk menyerahkan revisian kepada dosbingnya, tidak menanggapi dengan serius respon Septian.

"Kan nama lo emang Septian. Salah gitu gue panggil Sep?" Tanya Juan setengah meledek. Ia paham betul, lelaki yang kini tengah kesulitan menggaruk punggungnya karena terhalang kaos belel itu pasti hendak numpang membuat kopi di kamarnya.

Dengan wajah ngantuk dan malas, Septian mengibaskan tangannya ke udara, "Ya kan bisa manggil Tian. Gak harus Sep, lo kira gue asep."

Juan mendengus sambil geleng kepala, tidak lagi menanggapi temannya yang tidak jelas itu. Ia kemudian melangkahkan kakinya untuk keluar kos. Juan menggeser gerbang yang secara bersamaan juga dengan Gia dari arah luar.

"Eh, Mas Juan." Sapa Gia dengan senyum ramah ketika gerbang kos berhasil terbuka.

"Dari mana Gi?"

"Dari stasiun Mas."

"Loh ngapain pagi-pagi udah dari stasiun?"

Juan bertanya dengan raut wajah bingung. Seingatnya, Gia sudah datang sejak dua hari yang lalu. Lantas untuk apa dia sepagi ini sudah dari stasiun?

"Ini Mas, aku barusan jemput temenku. Dia mau pindah kos disini." Balas Gia.

Juan mengernyit bingung, pasalnya tidak ada seorangpun di sekeliling mereka kecuali Septian yang duduk memperhatikan percakapan tidak penting mereka berdua. Ia hanya melihat motor scoopy milik Gia di luar gerbang dengan sebuah tas jinjing yang berada di depan dan sebuah kardus yang diikat di jok belakang.

"Lah temennya sekarang mana?" Tanya Juan lagi merasa tidak puas dengan jawaban Gia.

"Elaaah Ju, kepo amat jadi manusia." Teriak Septian membuat Juan memutar wajahnya dengan mata mendelik.

Gia tertawa melihat dua kakak tingkatnya itu seolah adu urat melalui tatapan mata. Tidak lama kemudian, terdengar suara motor berhenti di depan kos yang membuat dua manusia yang masih berdiri di depan gerbang itu menoleh.

"Itu dia temenku. Aku memang jemput dia, lebih ke ngarahin jalan kesini sih. Soalnya bawaan dia banyak jadi harus mesen gojek. Dia barusan mampir di minimarket sebelah situ." Jelas Gia tanpa diminta.

Juan berdeham tanda ia mengerti, tanpa mengalihkan pandangannya dari gadis yang tengah membayar ongkos kepada abang ojol itu.

"Terimakasih ya pak."

KalanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang