Beberapa hari setelah Kalana pindah, penghuni kos lama mulai berdatangan. Mulai dari adik tingkat, teman seangkatan, maupun kakak tingkat.
Suasana di lingkungan baru membuat Kalana tidak menyesali pilihannya untuk pindah. Walaupun agak bising karena ramainya penghuni kos, itu tidak menjadi masalah baginya kendati sebenarnya Kalana adalah tipikal gadis yang lebih menyukai ketenangan.
"Anak baru ya?" Tanya seorang cowok dengan tubuh tinggi menjulang yang baru saja memasuki dapur.
Kalana yang tengah membersihkan cumi kering di wastafel kontan mendongak, mendapati cowok tadi tengah menatapnya dengan kedua tangan cowok itu sibuk membuka sebungkus kopi instan.
"Iya." Balas Kalana dengan senyum ramahnya.
"Ihhh cantik banget..." puji cowok itu setelah melihat langsung senyuman Kalana. Membuat si empunya senyum kontan menundukkan wajahnya canggung.
Dilanjutkan dengan sebuah suara lain yang menginterupsi kegiatan keduanya, "Ferry, gue udah bilang berapa kali, stop gatel sama cewek! Lo lupa gimana sadisnya cewek lo apa?"
Kalana meringis mendengar suara milik cewek yang tadi sempat mampir ke kamarnya untuk berkenalan. Zian namanya.
"Idih apaan sih Zi, jangan buka kartulah. Malu sama dia—eh siapa namanya?" sahut cowok yang Zian sebut sebagai Ferry.
"Kalana."
"Nah—iya Kalana. Btw namanya sesejuk embun di pagi hari."
"Najisss Ferrr!!!" Teriak Zian kemudian memukul lengan besar milik Ferry.
"Kal, maklumin aja ya. Anak ini emang freak. Sama kalo dia gatel ke lo, pukul aja." Ujar Zian bersungguh-sungguh, membuat Ferry menyahut tidak terima, "Yailah si anjir mulutnya jahat bener. Jangan didengerin ya Kalana. Gue cowok baik-baik kok."
Melihat keduanya yang justru adu argumen sampai Ferry batal menyeduh kopi, membuat Kalana secara sadar tertawa ringan. Cumi yang dibersihkannya sudah selesai, tinggal mengolah bumbu yang sudah disiapkannya di awal tadi.
"Ini pada ngapain sih kok berisik banget, kedengeran sampe ujung." Tanya seseorang yang baru memasuki dapur dengan wajah lesu dan rambut sedikit berantakan.
"Ferry rese nih Mas." Respon Zian cemberut.
"Rese dari mana sih, lo duluan yang nimbrung. Padahal gue ngajak ngobrol dia." Bela Ferry mengarahkan dagunya ke arah Kalana yang kini tersenyum canggung—menyadari Juan yang rupanya baru saja melerai kegiatan tidak bermanfaat dua tetangga kosnya.
"Bohong Mas. Modus doang dia nih."
Juan menggelengkan kepalanya kemudian melangkah mendekati Kalana—yang beralih sibuk mengiris tomat hijau dan bahan lainnya.
"Mau masak apa Kalana?" Tanya Juan sopan, tidak menghiraukan Zian dan Ferry yang kembali entah meributkan apa.
Sadar bahwa jarak keduanya cukup dekat, Kalana berusaha mengatur napas dan gerakan tangannya agar lebih hati-hati. "Sambal cumi ini Mas."
"Wah kebetulan ini menu favoritku. Boleh nanti aku cobain?"
Gerakan tangan Kalana terhenti, pula suara Zian dan Ferry yang menghilang.
"Kalo gak boleh, gak apa-apa kok." Lanjut Juan setengan tertawa mendapati Kalana justru terdiam.
"Boleh Mas."
Kini giliran Juan yang bergeming, tawa ringannya yang tadi sempat mengudara—ia telan kembali, menutup bibirnya rapat. Entah hal apa, rasanya seperti ada sengatan kecil dalam dirinya membuat lidahnya kelu serta rasa gundah merambat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kalana
General FictionTentang sebuah tanya yang hadir di benak seorang Juandra. Akan sosok Kalana, seorang gadis sederhana yang berhasil menarik seluruh perhatiannya.