Tak tik tuk. Tak tik tuk.
Bunyi jam dinding besar itu menjadi lagu pengiring ujian saat ini. Tak ada yang berani bersuara, hanya gerakan pena yang sibuk mengisi soal. Kerutan dahi sedari tadi sudah nampak, keringat dinginpun mulai bercucuran.
Seorang gadis duduk di dekat jendela. Memperhatikan kondisi kelasnya yang hening. Mengamati satu per satu wajah teman-temannya yang sedang mengerjakan soal. Lembar ujian di depannya sudah terisi lengkap.
"Nanda sudah selesai?" Bu Yisia yang daritadi diam bertanya pada si gadis yang duduk di dekat jendela tadi.
"Sudah Bu." Jawab gadis bernama Nanda itu.
Teman-temannya hanya berseru iri. Dibenak mereka menyuarakan 'Andai gue sepintar Nanda.'
TETTTTT
Bel berbunyi nyaring, keributan langsung bergema di kelas itu. Seruan tidak rela mengumpulkan lembar ujian yang masih kosong tampak bersahut-sahutan.
"Duh gimana nih, belum keiisi semua! Gila soalnya susah banget!"
"Gue lima lagi nih!"
"Matilah gue!"
"Udah pasrah nunggu remidial dari Bu Yisia."
Nanda tersenyum. Ia berjalan melewati teman-temannya yang tampak grasak-grusuk mengisi soal yang belum terjawab. Tiba-tiba langkahnya terhenti karena seseorang menarik tangannya.
"Nan, liat nomor 23 dong! Plis!" Seorang cowok berkulit sawo matang itu memohon sambil mengatupkan kedua tangannya di depan dada.
"Jawabannya A. Ada kok di buku, lain kali belajar ya." Jawab Nanda sambil tersenyum ramah. Si cowok berkulit sawo matang itu mengangguk lalu kembali mengisi lembar ujiannya.
Nanda melanjutkan langkahnya sampai ke depan kelas.
"Ini Bu." Ucapnya sambil meletakan lembar ujian tersebut di depan Bu Yisia.
"Silakan, kamu boleh istirahat Nanda." Ujar Bu Yisia. Ia sudah siap-siap berdiri mengambil satu per satu lembar ujian murid-muridnya yang lain.
Nanda mengangguk. "Terima kasih Bu."
Suasana di luar kelas tampak lebih riuh. Maklum, ini waktunya istirahat. Nanda berjalan dengan hati-hati agar tidak menyenggol orang lain di sekitarnya. Tapi sepertinya usaha Nanda gagal karena seorang cowok berjambul menabrak pundak Nanda.
"Aw..." seru Nanda sambil memegang pundaknya yang terasa nyeri.
"Whoa Nanda man!" Teman-teman si cowok tertawa sambil memukul punggung si cowok berjambul tadi.
"Kayaknya bakal jadi tantangan yaa bro!"
Nanda hanya menatap bingung kelima cowok yang sedang menepuk-nepuk punggung si cowok berjambul. Lalu menatap Nanda sambil tertawa.
'Memang ada yang aneh denganku sampai mereka tertawa seperti itu?' Batinnya.
Si cowok berjambul menatap Nanda sekilas, lalu pergi tanpa pamit bersama kelima teman-temannya.
"Mereka kenapa sih?" Gumam Nanda.
Beberapa detik kemudian, Nanda melanjutkan langkahnya ke kantin, melupakan kejadian yang baru saja terjadi.
"Cowok-cowok aneh..." gumamnya sambil tersenyum.
****
Waktu sudah menunjukan pukul 3 sore. Sekolah Nanda sudah sepi, hanya tinggal beberapa petugas kebersihan. Nanda memijat pelipisnya, ia baru saja menyelesaikan latihan fisika untuk lomba minggu depan.
Sambil menunggu supir yang akan menjemputnya, Nanda duduk di kursi panjang koridor. Koridor sore ini terlihat lenggang dan sepi.
"Hai."
Nanda menoleh. Seorang cowok sudah duduk di sampingnya, entah, Nanda tidak tahu kapan cowok itu mulai duduk di sampingnya.
"Sori yang tadi, waktu istirahat." Ujar si cowok tersebut.
Nanda menaikan sebelah alisnya. Tanda ia tidak mengerti.
"Tadi waktu istirahatkan gue nabrak lo." Si cowok mengingatkan Nanda.
"Oh itu... gak apa-apa. Udah ga sakit lagi kok." Balas Nanda sambil tersenyum lebar.
"Bagus kalau begitu, eh nama gue Elang." Si cowok berjambul mengulurkan tangannya.
Nanda masih dengan senyumnya menjabat tangan si cowok berjambul itu. "Nanda."
"Wah, jadi ini yang namanya Nanda, yang katanya pinter itu..."
"Hehe aku biasa aja kok..." Nanda mencoba rendah hati.
"Apanya yang biasa aja! Lo kan pernah ikutan olimpiade fisika kan? Trus... siswa berprestasi... ah pokoknya banyak deh... ya kan?"
"Hehe iya... Tapi, itu cuman ikutan aja kok-
"Dan menang right?" Potong Elang sambil mengedipkan sebelah matanya.
Nanda tertawa sambil mengangguk.
"Ya sih... Tapi kamu juga bisa kok kalau mau, asal kerja keras dan pantang menyerah..." Nanda mengepalkan tangan kanannya. Ia memang suka memotivasi seseorang.
"Hahaha... enggak deh Nan. Kayaknya gue sih gak pantes-
"Eh eh... jangan begitu... semua orang pantes kok! Kan kita dikasih kepintaran sama cuman yang berbeda ya usaha kita masing-masing..." jelas Nanda.
Elang mengangguk-angguk. "Jangankan lomba ini-itu, gue aja di kelas rangking terakhir..."
"Mungkin kamu kurang berusaha..." Ujar Nanda sambil tersenyum.
"Tapi gue emang bener-bener gak bisa Nan... kayaknya gue butuh mentor deh... lo mau jadi mentor gue Nan? Plis..."
"Oh boleh...boleh... dengan senang hati! Tapi kamu harus serius ya belajarnya..."
"Pasti Nan! Makasi ya Nan!" Tanpa sadar Elang memegang tangan Nanda.
Nanda terkesiap kemudian ia berdeham.
"Eh eh sorry Nan, refleks tadi." Ujar Elang sambil menggaruk belakang kepalanya.
"Iya ga apa-apa kok... belajarnya hari Rabu dan Jumat ya, pulang sekolah, gimana?"
"Wah boleh tuh, gue gak ganggu jadwal lo kan?"
"Jadwal? Ah kayak artis aja, aku gak ada kegiatan kok hehe..."
"Oke berarti deal ya Rabu dan Jumat...."
"Deal. Eh, supirku udah datang, aku pulang duluan ya..." Nanda beranjak berdiri, lalu mulai ke dalam mobil.
Elang mengiring kepergian Nanda dengan senyuman ramah.
Ketika, mobil Nanda sudah hilang dari pandangan senyuman itu berubah menjadi seringaian licik.
"Sepertinya akan berjalan lancar."
Nanda, kamu dalam bahaya.
*****
Hari-hari berikutnya, semua berubah. Kalau biasanya Nanda berjalan sendiri ke kantin, sekarang selalu ada Elang di sampingnya. Bahkan, gosip-gosip mulai berhembus."Kayaknya Elang suka sama Nanda."
"Si Nanda pake pelet apa sih? Elang yang ganteng kuadrat itu bisa suka sama dia!"
"Dimana kenalannya ya?"
Nanda berusaha menutup telinganya. Toh, Elang baik, Nanda suka berteman dengannya. Buat apa mendengarkan omongan orang lain, yang gak bakal ada habisnya.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Illusion Of Love (3/3 END♡)
RandomKamu tidak pernah nyata. Tepatnya, cintamu kepadaku, tidak pernah nyata. Tidak pernah ada. Cintamu hanya ilusi semata. Rayuanmu hanya bualan yang akan hilang begitu saja. Bualan-bualanmu yang manis telah kumakan tanpa waspada. Kamu, kamu membangun...