Your Name┃four, she (bit) different.

59 12 3
                                    

Setelah hari di mana Heafen membuntuti gadis yang sedang menjaga anak panti asuhan dari jauh.

Dia berjanji pada dirinya untuk menghampiri gadis itu untuk melihat lagi senyuman manisnya.

Senyuman berhasil mengangkat kedua sudut bibirnya menyunggingkan senyum.

Tak hanya membuat ia tersenyum, gadis itu telah berhasil membuatnya seperti orang tidak waras saat pulang — terus senyum hingga membuat orang rasa takut untuk duduk di sampingnya dan rela berdiri.

“Hai, Cinta.”

Sapaannya seolah-olah mereka akrab. Begitu Jacinta mendongak dan tersenyum canggung padanya.

“Aku ... ingin duduk di depanmu, bisakah?”

Heafen menunggunya. Refleks, lelaki itu duduk setelah mendapat persetujuan dari Jacinta yang kini menatapnya.

Heafen senyum, menautkan kedua jemarinya tangannya dan meletakkan di meja kafetaria yang panjang itu.

“Aku ingin berkata jujur,” katanya. Heafen menarik napas, “akulah yang mengikutimu sampai ke panti asuhan.”

Jacinta terdiam mendengarnya.

Dia juga ingat jika Nacinta menggantikan posisinya saat itu dan tak pernah mendengar Nacinta menceritakan tentang itu.

Dia harus memaksanya untuk bercerita nanti.

“Ah, b-benarkah? A-aku tidak menyadari itu,” ucap Jacinta gagap.

Haefen makin mengembangkan senyumnya, merasa gemas melihat gegabah gadis itu.

“Tentu saja kamu tidak menyadari itu, karena aku bersembunyi.”

“Ah, benar juga.”

Haefen menatapnya dengan teduh, dengan seulas senyum manis di bibirnya; “omong-omong kamu sudah makan?”

Jacinta mengangguk, “sudah, kenapa?”

Haefen menggeleng, “cuma bertanya saja,” jawabnya asal.

Gadis itu tidak menjawab selain mengangguk mengerti dan terus mendiamkan dirinya.

Entah kenapa, dirinya terasa canggung bersama kakak kelasnya ini, apalagi jika lelaki itu menatapnya dengan tatapan hangat.

“Oh, kapan-kapan kita ke panti asuhan ya?”

Jacinta tersenyum, “ya, boleh.”

Anak rambut hitam Jacinta berterbangan sana tidak pernah menggagalkan wajahnya yang menawan itu menjadi jelek.

Malah terlihat pesona di mata Haefen.

“Hum, Jacinta ...” Jacinta mengangkat wajahnya lagi, menatap Haefen terlihat — gugup?

“Bisakah aku meminta—”

“Fen, ada guru memanggil kamu, cepat!” Haefen mendelik diam, hampir saja dia mendapatkan nomor telepon gadis berseberangan dengannya.

Namun andai saja dia bisa berputar waktu, dia pastikan temannya diikat, dia menganggu sekali.

“Maaf ya, aku permisi.”

;

“Aku dekat dengan Haefen?”

Jacinta mengedipkan matanya perlahan sebelum matanya teralih pada kumpulan kakak kelasnya menyeretnya ke suatu tempat.

Tempat itu sangat sunyi, dari dalam lumbung tua, Jacinta bisa merasakan dirinya terus-menerus diganggu.

“Ya, tidak usah berpura-pura tidak mengerti!” Hentak gadis itu mendorongnya hingga dia terjatuh ke lantai kotor dipenuhi debu-debu.

Your Name • Heeseung Yuna ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang