Assalamualaikum...
•
•
•
•Mirza tidak berkutip apa-apa saat dirinya mendapatkan siraman-siraman kalbu dari mulut Kyai Hasan dan Ustadz Mahmud. Terciduknya mereka merokok dibelakang asrama putri tidak pernah ia duga, Mirza mengira bahwa tempat itu tak akan membuatnya kedapatan oleh siapapun.
Nyatanya justru ia malah kembali tercyduk. Awalanya salah satu santriwati sudah mendapati mereka merokok dibelakang asrama, karena separuh asap mereka merembes masuk lewat pentilasi kamar dan membuatnya segera memberitahu yang lain hingga sampai ke telinga Ustadz Mahmud dan Raihan.
Santriwati itu tak langsung menampilkan dirinya karena terlalu takut, dia hanya seorang wanita sedangkan para pria itu berlima. Akhirnya, sampailah pada keadaan seperti ini, Mirza dan keempat temannya dibawa menghadap pada Kyai Hasan agar mendapat hukuman.
Ya, mereka harusnya diberi hukuman, ini bukan lagi perbuatan pertama melainkan sudah beberapa kali. Kyai Hasan bahkan menghempaskan napasnya yang terdengar berat, sebenarnya pria paruh baya itu sedikit cape melihat tingkah Mirza dan keempat temannya. Namun, dia hanya bisa mengelus dada dan sabar.
"Apakah kalian masih berniat tinggal ditempat ini?" Pertanyaan tersebut terlontar dari Kyai Hasan.
Tak ada yang menyahut, kelimanya hanya menunduk dan memainkan kakinya dibawa.
"Apa yang ingin kalian lakukan?" Kyai Hasan melanjutkan pertanyaannya.
"Kami juga gak tau harus melakukan apa ditempat ini." Satu sahutan tersebut membuat Raihan ingin menyeleneh.
Raihan menatap lima pria itu dengan wajah serius seperti biasanya dan berkata, "maka dari itu berubah lah, Allah sudah memberi petunjuk dengan keberadaan kalian ditempat ini. Tidak semua orang gampang mendapat hidayah, oleh karena itu gunakan waktu sebaik mungkin, perbaiki diri dan jadilah orang-orang saleh!"
"Jika memang niat kalian tak ingin memperbaiki diri dan kembali ke jalan yang benar, sebaiknya jangan membuat masalah di pesantren ini, menjauhlah sampai kalian mendapat kesadaran, baru kembali lah!"
Kyai Hasan tak tau lagi harus mengatakan apa, ungkapan dari Raihan mungkin sudah mewakili dirinya. Jujur dia tak ingin terlalu menekan pada Mirza dan teman-temannya, namun jika terus membuat masalah seperti ini, yang ada hanya akan timbul berbagai masalah lain dan pasti tak akan ada ketenangan bagi para santrinya.
Dilain sisi tampaknya kelima pria itu tak peduli dengan ucapan Raihan tadi. Ya, jika sudah menjadi kebiasaan maka itu tak akan bisa hilang begitu saja. Terlihat Mirza dan Pico saling memainkan kakinya, mereka berdua saling menendang dan membalas satu sama lain.
Sedangkan Sergio dan Radit, saling senggol menyenggol. Dan Raden? Pria itu tentu memperhatikan setiap gerakan temannya, namun dia tak melakukan apa-apa. Tubuhnya ada disana tapi jiwanya melayang ke tempat yang entah kemana.
"KALIAN DENGAR GAK?!" pekik Ustadz Mahmud.
Setiap gerakan kecil yang Witra dan temannya lakukan tak pernah luput dari pandangan Kyai Hasan, Ustadz Mahmud dan Raihan. Sungguh, jiwa kegeraman itu muncul saat perkataan yang sungguh-sungguh tak direspon baik oleh sang pendengar.
"Mirza, Sergio, Raden, Radit, Pico. Saya mau tanya," panggilan tersebut langsung mendapat perhatian dari sang empu. Kyai Hasan memanggil mereka dengan suara lembut, "apakah kalian ingin keluar dari pesntren ini? Apa kalian tidak suka dengan tempat ini?"
Mirza berdecak sembari menatap malas, ini pertanyaan kedua yang membuatnya jengah untuk menjawab. Apakah keberadaannya dipesantren bukan jawaban? Tentu itu jawaban, ia masih ingin ditempat itu.
"Gue cuma butuh kebebasan dan tidak dikekang!" ungkap Mirzaa.
"Tidak ada yang mengekang! Kalian saja yang belum terbiasan dengan tempat ini. Jika kalian ingin bebas, pergilah dari disini, kembali ketempat mu semula!" Raihan tak kalah menyahut dengan menohok. Ia bahkan tak sadar apakah ucapannya tersebut layak untuk keluar.
Jelas. Saat itu Kyai Hasan memandang Raihan, sudah cukup agar dirinya tak berbicara lagi, biarlah Abinya yang menghadapi mereka.
"Belagu banget lo jadi orang!" tutur Pico dan itu membuat Raihan ingin menyahut kembali.
Kyai Hasan menahan tangan Raihan agar tak terpancing emosi.
"Orang yang membuat masalah harus diberi hukuman yang setimpal, sama halnya dengan perbuatan kalian hari ini."
Kelima pria itu sontak menyatukan pandanganya kemudian menatap Kyai Hasan.
"Kita akan dihukum?" kata Sergio.
"Sudah seharusnya kalian dihukum!" timpal Ustadz Mahmud.
"Gue gak mau dihukum!" Ini adalah penolakan dari Mirza. Tentu ia tak mau dihukum.
"Lagian cuma merokok doang, kok."
Sergio mengangguk setuju, "disini gak ada peringatan tentang larang merokok, jadi bukan kita yang salah sepenuhnya."
"Siapa suruh gak kasi tanda larangan merokok!"
"Tidak adanya tanda bukan berarti kalian bebas melakukan hak itu seenaknya. Ini bukan tempat umum seperti diluar sana yang harus diperingati setiap hari, harusnya kalian yang sadar bahwa merokok itu berbahaya. Bukan untuk pengguna saja melainkan orang yang berada disekitarnya bisa ikut berbahaya!" Jelas Ustadz Mahmud.
Mendengar hal tersebut membuat Mirza, Pico, Radit dan Sergio melirik Raden secara bersamaan. Pernyataan itu sama persis dengan ucapan yang sering Raden lontarkan pada mereka.
"Den, kayaknya lo cocok masuk di circle mereka. Sama-sama gak doyan rokok!" tukas Mirza yang membuat tiga teman lainnya terkekeh.
Yang diolok pun hanya melirik sinis, untuk saat ini dia tak ingin berdebat dulu. Raden hanya ingin kapan persidangan kecil ini berakhir, kakinya sangat sakit karena berdiri terus sedari tadi.
"Jangan mancing! Gue kalau emosi, leher lo bisa gue tukar sama leher ayam!" kata Raden.
Lihatlah, kelima pria itu lagi-lagi merespon dengan candaan. Apakah perkataan yang bermanfaat tidak bisa masuk ke telinga mereka? Biarpun sedikit saja, asal ada yang masuk itu sudah bagus, daripada tak ada sama sekali.
Sepertinya Ustadz Mahmud dan Raihan tidak bisa berkata-kata lagi, ia akhirnya pasrah, hanya bisa mengelus dada dan bersabar.
"Baiklah, sepertinya kalian sangat siap untuk menerima hukuman."
Mirza dan yang lain menghentikan tawanya saat Kyai Hasan mengatakan hal demikian.
"Gue gak mau! Sampai kapan pun, gue gak akan pernah melakukan namanya hukuman!" sarkas Mirza.
Tanpa embel-embel lagi, Mirza melangkah pergi diiringi keempat temannya dibelakang. Masa bodoh dengan pekikan Ustadz Mahmud dan Raihan agar menyuruhnya untuk berhenti.
"Kita mau kemana?" tanya Sergio.
"Berburu lonte!"
Baru saja Mirza mengatakan bahwa ingin keluar dari pesantren, langkahnya tiba-tiba terhenti, membuat Pico yang berjalan tepat dibelakangnya harus bertabrakan dengan tengkuknya. Mirza menatap seseorang yang merupakan alasan dia menghentikan langkahnya.
Tanpa berpikir lama-lama, secepat mungkin ia kembali melangkah, namun dengan arah yang berlawanan. Mirza kembali berjalan ketempat dimana Kyai Hasan masih berada disana.
Hal itu membuat keempat temannya menatap bingun, mengapa Mirza kembali? Bahkan Raihan dan Ustadz Mahmud ikut bingun. Tak ada yang tau, apa alasan pria itu kembali menghadap pada Kyai Hasan, akhirnya mereka hanya mengekori lagi.
Disana, dihadapan Kyai Hasan, Mirza berhenti dan menatap lurus.
Hembusan napas ringan yang pasrah lolos Mirzaa keluarkan, "oke, gue salah! Gue akan terima hukuman apapun."
Semua yang mendengar itu menautkan kedua alisnya.
Tiba-tiba?
"Tapi ... Yang hukum gue harus dia." Tunjuknya pada Zira yang berdiri mematung.
•
•
•
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Sekedar Santri
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] [ON GOING] Belum di revisi Pria dengan kopiah hitam dikepalanya yang sedikit miring tengah memandang satu bangunan yang cukup besar di hadapannya. Sarung yang tadinya ia pakai kini berada dilehernya dan bergelantungan bebas...