Seperti hari-hari biasanya, suara klakson mobil yang seperti tengah beradu terus terdengar seperti tidak membiarkan kesenyapan menyelimuti kota. Hanya gerimis kecil yang membuat malam ini menjadi sedikit berbeda.
Tidak terasa, sudah hampir dua jam waktuku yang telah kuhabiskan hanya untuk membaca buku. Aku melirik kearah arloji yang melingkari tangan kiriku, malam semakin larut. Baiklah, kuputuskan saja untuk melangkahkan kakiku keluar dari kedai kopi ini.
Lonceng berbunyi ketika aku membuka pintu. Mengedarkan pandangan sekilas, kulihat di dalam kedai masih tersisa sesosok laki-laki berpakaian hitam dengan kepala yang tertutup tudung jaketnya nya.
Entah aku salah lihat atau memang manik hijau terangnya tadi ikut menatap tepat kearah ku?
Ah, aku tidak terlalu peduli dengan hal itu, jalanan ramai di hadapanku ini lah yang patut untuk dipikirkan, kemungkinan kecil untuk mendapati bus yang masih memiliki kursi penumpang, kalaupun ada, pasti resikonya adalah berhimpit-himpitan dengan penumpang lainnya.
Well, itu pasti menyesakkan.
Ketimbang berhimpitan dan terjebak kemacetan, aku tidak memiliki pilihan lain selain melewati jalan pintas yang tak jauh dari sini. Sial, seharusnya kuterima saja tawaran Kailen tadi kala dia menawariku pulang bersama menggunakan mobilnya.
Langkah demi langkah, jalanan berlubang yang kulewati tergenangi air hujan. Belum jauh dari kedai, aku mendengar suara lonceng itu lagi.
Tepat setelah aku tiba didepan jalan yang akan kulalui, aku bergumam untuk menyemangati diriku sendiri, "Jangan pikirkan tentang hantu, Leonora." Aku menghela napas sebelum melangkah ke depan, "Kau ini gadis pemberani, kenapa seperti ini saja harus takut?"
Lampu jalan yang hampir redup, pemandangan penuh lampu dan suasana ramai tadi seketika berubah. Jalan ini sungguh mengerikan, biasanya aku hanya berani melewatinya ketika siang hari saja.
Lewat beberapa menit, masih tidak ada hal yang aneh. Aku melewati jalan pintas ini dengan lancar, aku terus berusaha untuk tidak memedulikan hal yang berada di sekitarku.
Tapi sayangnya tidak bertahan lama, sesaat indra pendengaranku tiba-tiba saja menangkap suara langkah kaki seseorang yang berasal dari belakangku, perasaan takut itu kembali menyelimuti lagi.
'Sial, apa-apaan itu?!'
Tidak ada satu orangpun selain diriku sendiri disini, wajar saja jika pikiranku menangkap itu sebagai simbol bahaya, bukan?
Bayangan seseorang juga terlihat ketika aku menundukkan kepalaku ke bawah. Aku takut sekali, ingin lari rasanya, tetapi kenapa kakiku tiba-tiba saja tidak bisa diajak kompromi?
Ketika aku mempercepat langkahku, bunyi ketukan sepatu dari arah belakang juga seperti ikut mengejar langkah kakiku, 'Aku harus cepat-cepat pergi dari sini!' Takut, cemas, grogi, semuanya bercampur menjadi satu. Kuusahakan untuk tidak berprasangka buruk, tapi entah mengapa firasatku mengatakan jika dia adalah orang yang berbaha—
"Leonora?"
"Eh?"
Masih dalam keadaan syok dan takut, sekarang aku malah dibuat kebingungan ketika melihat teman sekelasku sudah berdiri di samping diriku sembari tersenyum dengan lebar, "Kenapa kau terburu-buru sekali? Sedari tadi padahal aku sudah ingin menyapamu loh, tetapi semakin aku mendekat, langkah kakimu malah semakin cepat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Harceleur
Teen Fiction(Revisi) "Sayangku, aku akan menjamin jika kita berdua akan hidup dan mati bersama-sama." Aku beralih mengambil foto Leonora dan langsung mengecupnya mesra, kuhirup foto tersebut dalam-dalam, kupandangi setiap inci detail tubuh milik Leonora-ku di...