Sepasang mata yang terpejam itu mengernyit secara tak sadar. Kedua alisnya bertaut ketika potongan kejadian 10 tahun yang lalu terputar bak kaset lama di dalam mimpinya. Tubuhnya bergerak gelisah. Peluh pun membasahi leher dan dahinya. Ia teramat takut sampai tangannya meraba-raba sekitar, seakan meminta tolong pada siapapun. Hingga akhirnya sebuah tangan berhasil digenggamnya dan suara perempuan mulai muncul secara perlahan masuk ke indra pendengaran.
"Will? William, sadarlah!"
Bak sihir, saat itu pula William terjaga. Napasnya kembang-kempis, seolah habis dikejar oleh hantu. Pandangannya tertuju pada sosok gadis yang sedari tadi menggenggam tangannya, buru-buru ia bangkit untuk meraih tubuh itu ke dalam pelukan.
"Oh, ya Tuhan. Rasanya aku hampir mati kalau kau tidak datang."
Si gadis mengelus punggung itu dengan lembut sambil merapalkan kalimat, "Tak apa, sekarang aku di sini." Barulah William mulai bernapas dengan teratur dan pelukannya melonggar.
Diliriknya jam analog di sisi tempat tidur. Mengetahui jarum jam yang mengarah ke pukul 03:05 membuat lengkungan senyum lega tercetak di bibirnya. Gadis itu datang di waktu seperti biasanya.
"Kukira aku akan mati, Sephia."
Sang gadis hanya tersenyum sambil menenangkan William dengan mengusap lengannya pelan.
Sephia. Gadis itu mengenalkan dirinya dengan nama indah itu kepada William. Tingginya sepantar telinga William, rambut terurai sebatas punggung, dan dress tidur berwarna putih selutut yang menjadi ciri khasnya. Kulitnya kuning langsat cenderung pucat, entah kenapa tangannya selalu dingin ketika William menggenggamnya. Kehadirannya selalu membuat tenang, walau Sephia hanya akan datang saat jam 3 pagi.
"Aku tak mau tidur lagi. Aku takut mereka akan menginjakku lagi, Sephia."
Bayangan akan mimpi buruk yang selalu mengusir tidurnya itu menjadi suatu hal yang membuat William enggan melanjutkan tidur. Dimana dirinya diasingkan, dihina, diinjak oleh orang-orang karena perbuatan orang tuanya. William tak pernah memiliki seseorang di dalam hidupnya namun Sephia hadir. Gadis itu dengan sukarela berteman dengannya, senyum hangat yang pertama kali William lihat membuatnya yakin bahwa Sephia adalah teman yang Tuhan kirim untuknya.
"Tak perlu khawatir tentang apapun, William. Aku di sini, menemanimu."
Satu kalimat itu selalu membuat William merasa tenang. Seolah kalimat yang Sephia ucapkan tadi tengah merengkuh tubuhnya yang ringkih. Sephia tau apa yang ia butuhkan.
"Bagaimana kalau aku membacakan sebuah dongeng sementara kau berbaring di sana?" Tunjuk Sephia ke arah tempat tidur.
"Dongeng pangeran dan putri?"
"Apapun yang kau mau, Will."
William tersenyum senang. "Oke, dongeng pangeran dan putri!"
Maka setelah William meletakkan kepalanya di atas paha Sephia, gadis itu memulai dongengnya untuk William. Pangeran dan Putri—dongeng yang awalnya William tak suka, entah kenapa menjadi favoritnya ketika Sephia yang membawakan cerita. Kedua tangan yang bergerak sesuai narasi itu pun membuat William senang. Tak lupa dengan selingan canda yang selalu membuatnya tertawa.
Sephia memang gadis terbaik yang pernah ia temui.
"Lalu, sang pangeran berkata—"
"Sephia," panggil William, memotong cerita.
"Ya? Kau butuh sesuatu?"
"Kenapa suaramu lembut sekali," dan Sephia hanya tertawa kecil.
"Aku menyukainya."
Sephia kembali melanjutkan dongengnya walau William terus bergumam tak jelas. Pemuda itu nampaknya mulai kehilangan kesadaran saat tangan dingin Sephia ikut membelai surai hitamnya. Tangannya dingin, namun William dapat merasakan kehangatan dari sana.
"Aku menyukai suaramu," racaunya yang semakin pelan. "Aku menyukaimu...Sephia."
Sephia hanya tersenyum. Jemarinya mengelap peluh yang sedikit mengering di area dahi William. Tak lupa juga menarik selimut untuk menutupi tubuh pemuda itu hingga menyentuh dagu. William sudah terlelap pulas. Dongeng pun sudah Sephia tuntaskan. Kini hanya tinggal menunggu matahari datang dan semuanya akan kembali baik-baik saja.
"William, sudah pagi. Waktunya sarapan," seorang wanita perawat datang membuka pintu kamarnya. Nampan yang berisi sarapan ia letakkan di atas nakas lalu kemudian ia pergi menyibak gorden kamar. Cahaya matahari pagi yang menusuk sepasang mata yang terpejam itu kemudian membuat si empunya menggeliat tak nyaman di balik selimutnya. Perlahan William bangun.
"Selamat pagi, Will. Bagaimana tidurmu semalam?" Suster itu bertanya sembari membereskan beberapa barang yang berantakan.
William menguap malas. "Buruk, seperti biasanya. Tapi beruntung Sephia datang dan mendongengkan cerita untukku hingga aku tertidur." cerita William.
"Ah... begitu." suster merespon sambil mengangguk paham. Seakan percaya dengan cerita William tentang 'Sephia' yang datang tadi malam.
"Pastikan kau menghabiskan sarapanmu, William. Lalu beritahu aku jika sudah selesai, ya?"
Setelah memastikan pemuda itu mengangguk atas titahannya, suster tadi melenggang pergi keluar kamar menyisakan William seorang diri.
William meraih gelas yang berisi air penuh kemudian ia teguk hingga tersisa setengah. Pandangannya mengedar ke sekitar sambil menghela napas. Rasanya kosong walau barang berjejer rapi di kamarnya.
"Kenapa Sephia selalu sudah pergi saat aku bangun pagi," lirihnya lalu menyantap sarapan seorang diri. Tanpa ia sadari kalau semua tentang temannya itu hanyalah ilusi.
•••