Pindahan

37 6 2
                                    

Dalam beberapa hari terakhir, Jiran disibukkan dengan pengurusan dokumen-dokumen yang harus disiapkan olehnya untuk menempati sekolah baru. Kabarnya, pekerjaan ibundanya yang dipindah tugaskan ke kota lain menjadi alasan utama Jiran pindah sekolah.

Sembari menghela nafas, Jiran mengambil barang terakhir dari kamarnya. Sebuah bingkai foto kecil berisikan dirinya dengan mendiang neneknya. Jiran mengusap foto yang penuh debu itu dengan raut wajah sayu. 

" Kalau nenek masih ada, mungkin aku lebih memilih tinggal disini dengan nenek. Lagian aku sudah nyaman dengan suasana sekolah SMA ini " 

Sebenarnya, hari ini adalah minggu ke 2 semenjak Jiran memasuki jenjang SMA. Meskipun ia belum memiliki banyak teman, ia merasa nyaman setelah menempati sekolah tersebut.

" Yah, apa boleh buat. Kasian juga bila aku meninggalkan ibu sendirian "

Untuk kedua kalinya, Jiran menghela nafas. Ia lalu melapisi bingkai foto tersebut dengan kain dan perlahan memasukkannya kedalam tas dengan hati-hati. 

*tok tok

*Teeet...

Ketukan pintu diiringi suara pintu yang terbuka setengah.

" Nak, sudah siap? Abang angkotnya udah dateng. "

" Sudah bu, bentar. " 

" Ibu tunggu di dalem angkot ya nak, jangan lama lama. "

" Iya bu. "

Ibu menutup kembali pintu yang setengah terbuka. Terdengar pijakan kaki dari tangga kayu tua yang perlahan menjauh.

Jiran berdiri ditengah ruangan, melihat-lihat ruangannya yang kini kosong dengan seksama. Ia pun berjalan ke arah jendela kamarnya, memandangi pemandangan asri desa yang membesarkannya, desa yang kini akan ia tinggalkan. 

" Ran, oy! "

" Ran!! "

" Woy, budek! "

Terdengar panggilan dari arah bawah. Dihadapannya, 3 orang temannya, Asep, Adam dan Reva tengah berdiri disamping angkot sembari melambaikan tangannya sambil melompat kecil. 

" Asep, Adam, Reva. Ngapain disitu? " 

" Udah gausah banyak tanya sini cepet turun! "

" Iya-iya, bentar. Sabar! "

Teriak Jiran sambil tersenyum kecil. 

Jiran bergegas mengambil tas dan merangkulnya, kemudian melangkah ke arah pintu tua kamarnya. Namun, pijakannya terhenti.

" Jiran " 

Sebuah bisikan wanita yang halus yang menaikkan bulu kuduk Jiran. Jiran langsung membalikkan pandangannya ke arah bisikan tersebut. 

Suara tersebut berasal dari lemari tua yang tidak terpakai di kamarnya, karena selama ini lemari itu tidak bisa dibuka karena kuncinya yang hilang. Begitulah yang selalu diceritakan oleh nenek Jiran.

" Jangan pergi.. " 

Jiran semakin merinding, terlebih lagi lemari yang tidak pernah terbuka selama hidupnya itu kini terbuka secara perlahan dengan suara horor.

*Treet.... 

 Jiran menelan ludah, menyiapkan keberanian untuk melihat ada apa dibalik lemari tersebut. Ia takut, ingin memalingkan pandangannya dari lemari itu. Tetapi ia tidak bisa. Rasa penasarannya menutupi rasa takutnya saat ini.

Jiran tidak bergeming, pandangannya terus tertuju pada lemari yang perlahan terbuka secara sendirinya tanpa berkedip sedikitpun. 

" Nak.. Nak! "

Panggil ibunda sambil menepuk pundak Jiran.

Jiran terkejut dan terdistraksi akibat tepukan ibundanya. Secara bersamaan, pintu lemari itu terbuka dengan lebar lalu tertutup lagi secara kilat. Dalam hitungan detik, Jiran terjatuh lemas. Ia melihat sosok hitam besar dengan mata merah keluar dari lemari tersebut dengan cepat dan mencoba meraih Jiran. Akan tetapi sosok tersebut tertarik kembali ke lemari tersebut.

Nafas Jiran tak karuan. Ibunda yang melihat kondisi Jiran saat itu panik lalu berteriak minta tolong, tetapi Jiran langsung menghentikan ibundanya dan meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja. 

" Tidak apa ibu, tadi cuman cape aja kok " 

Ucap Jiran meyakinkan ibundanya.

Jiran kemudian berdiri dan merangkul tasnya. 

" Kamu bener gapapa nak? "

" Iya bu, tadi kayanya Jiran anemia " 

" Yaudah kalau gitu, itu temanmu sudah menunggu di bawah"

" Iya bu " 

Jiran kembali menatap lemari tersebut, lalu mulai melangkah keluar kamarnya dengan pikiran penuh tanda tanya. Apa yang sebenernya terjadi?

" Lama banget, ngapain sih di atas? "

Sontak Adam setelah melihat Jiran keluar dari pintu rumahnya sambil melambaikan tangan.

" Iya-iya maaf, tadi ada sesuatu "

" Apa tuh? Hantu ya, hahaha "

" Mana ada hantu siang bolong gini Dam. Aneh-aneh aja kamu "

Ucap Reva.

Jiran menghiraukan mereka, pandangannya terus tertuju pada jendela kamarnya. Ia merasa ada sesuatu yang memperhatikannya dan menggaljan perasaannya.

" Emang susah ya ninggalin sesuatu yang dulu sama kita itu "

Ucap Asep sambil menepuk pundak Jiran.

" Ah, Sep. Iya nih, hahaha "

Jiran kini berusaha untuk tidak memikirkan kejadian sebelumnya dan fokus pada apa yang ada dihadapannya. Teman-temannya.

Mereka kemudian mengobrol dengan satu sama lain tentang sekolah, dan yang lainnya. Merekapun bersenda gurau sebelum kepergian Jiran. 

" Oh iya, ngomong-ngomong kamu sebenernya pindah ke kota mana sih? " 

Ucap Reva dengan rasa penasaran.

" Aku pindah ke Kota C, Va. Katanya pekerjaan ibu dipindahkan kesana "

" Oh, ternyata deket ya. "

" Yah, paling-paling 1 jam. Kalaupun macet ya 2 jam lah. "

Ucap Adam dengan santai.

" Jangan lupa mampir kesini ya kapan-kapan. Nanti bisa nginep dirumah Adam "

Sontak Asep sambil menepuk punggung Jiran.

" Rumah Reva aja kan bisa "

" Ga gitu dong Dam! "

Sontak Reva sambil menjitak Adam.

" Hahaha, iya-iya. Kapan-kapan ya!"

Ucap Jiran sembari tertawa dan tersenyum lega. Tetapi perasaan yang mengganjal dalam dirinya masih belum berakhir. 

" Aku pamit dulu ya, teman-teman. " 

Jiran dan yang lainnya saling berpamitan dan bersalaman. Ia pun menaiki angkot yang telah lama menunggu. Jiran duduk di kursi yang berada di pintu angkot sembari menghadap keluar. 

Jiran dan teman-temannya saling melambaikan tangan perpisahan. Setelah angkot mulai menjauh, Jiran terkejut kaku melihat seseorang melambaikan tangan di jendela kamarnya sambil tersenyum.

***


Catatan JiranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang