Apa Yang Lebih Hancur?

13 7 3
                                    

Senja berjalan lesu kearah kamarnya yang ada di lantai 2. Tatapan kosong dengan tubuh tanpa jiwa enggan mengalihkan matanya dari siluet yang terpajang jelas dengan bingkai indah di kamarnya.

Sosok ibu yang seharusnya mampu menjaga sampai dimasa dia dewasa harus terbunuh tragis karena keegoisan milik ayahnya.

"Gue rasa ini cuma mimpi." Kata senja sambil tertawa merana.

Tak ada kebahagian dibalik tawanya hanya ada kesedihan yang dalam dan kebencian yang kuat untuk keadaan saat ini.

"Gue cuma perlu hubungin kakak gue dan gue yakin ini semua cuma pikiran gue yang gak jelas." Senja menghapus cepat air mata di wajahnya dan menyambar ponsel dari dalam saku. Mencari nomer ponsel yang tertulis nama kakaknya.

Kringggg...

Dering telpon berbunyi panjang sampai sahutan suara serak dari ujung telpon membuat Senja terhenyak.

"Halo."

"Halo kak. Kakak sekarang lagi dimana?" Tanya Senja

"Kakak masih ada urusan kantor. Lo perlu apa cepet ngomong aja." Jawab Ryan kakak pertama Senja. Senja

"Kakak udah dapet kabar dari kantor kepolisian? " Tanya Senja langsung pada point nya tak ingin berlama lama karena desakan Ryan padanya.

"Udah, nanti lagi ya. Gue lagi ada perlu penting masalah itu nanti gue hubungin Rendi buat urus." Telpon langsung ditutup tanpa mendengar jawaban dari Senja.

Senja hanya menghela napas dalam dalam bagaimana sikap Ryan kepada orang tuanya terlalu tidak dipentingkan. Ambisinya terhadap pekerjaan memang sangat menakutkan. Disisi itu kenakalannya di luar dengan suka bermain judi juga sangat sulit untuk diragukan.

Senja tak ingin menunggu terlalu lama karena dia mempunyai 3 kakak laki laki yang seharusnya salah satunya mampu untuk membantunya dikondisi saat ini.

Senja menekan tombol berwarna hijau untuk menghubungi Rendi kakak keduanya.

"Halo apa dek." Suara dingin terdengar dari sebrang.

"Kak, udah dapet informasi dari pihak kepolisian? Kakak bisa nggak pulang sekarang?" Tanya Senja dengan suara penuh harap.

"Sory, gue gak bisa bantu." Jawaban singkat dari Rendi.

"Tapi Kak, ini kan masalah mamih sama papih kenapa kakak gak mau sempetin pulang mau gimana juga kan mereka orang tua kakak." Senja enggan untuk menerima penolakan untuk yang kedua kalinya, dia berusaha untuk membujuk.

"Gue bilang gak bisa bantu emang lo udah mulai tuli. Itu urusan mereka ya mereka selesain sendiri." Bentak Rendi lalu memutus sambungan telpon.

Senja mendengar suara keras dari Rendi hanya menatap bingung pada layar ponsel miliknya bagaimana mungkin keengganan dari kakaknya begitu besar untuk masalah ini.

Belum sampai Senja menghilangkan keterkejutannya Senja mendapat panggilan masuk dari kakak ketiganya.

"Halo kak Ray." Sapa Senja dengan suara lirih.

"Senja gue dapet kabar dari kantor kepolisian emang bener? Enggak bener kan ini pasti akal akalan lo sama bokap kan." Kata Ray menyangkal keadaan.

"Bener gue udah konfirmasi ke kantor kepolisian." Jawab Senja.

"Bangsat! " Umpat Ray emosi.

"Gue balik sekarang!"

Sunyi senyap, Senja menatap keluar jendela, awan mendung dengan rintikan gerimis kecil mendukung suasana hatinya saat ini.

Banyak kenangan terbesit masa kecil bahagia dengan keluarga yang terlihat penuh kasih sayang. Tapi kini bak berenang dipalung terdalam gelap tanpa penerangan. Perasaan dingin membuat Senja bergidik ngeri bagaimana keluarganya bisa hancur dalam sehari saja? Dan jalan apa yang diinginkan Tuhan untuknya kali ini.

"Senja lo dimana. " Teriakan menggema keras dari lantai bawah karena suasana sepi di rumah.

Senja berlari bergegas setelah mendengar teriakan Ray kakaknya yang ketiga.

"Kak Ray. " Senja bergegas memeluk Ray dan menangis keras saat ini dirinya sudah tidak bisa membuat opini untuk terus menyanggah kenyataan yang ada.

"Hussshh... Sory gue dateng telat. Kita omongan dulu berdua jadi gue harap lo tenang dulu sekarang." Kata Ray menarik Senja dari pelukannya. Tak menolak untuk memberikan dukungan lebih pada Senja hanya saja jalan keluar saat ini perlu di bahas terlebih dahulu.

"Oke, apa yang mau kakak bahas sekarang." Kata Senja menghapus air mata dari sudut matanya.

"Lo udah telpon kak Ryan sama kak Rendi?" Tanya Ray menatap Senja dengan serius.

"Udah, mereka berdua nolak buat ngurusin masalah ini." Jawab Senja menunduk lesu.

"Bajingan emang tuh dua orang udah makan banyak harta bokap nyokap gak tau diri sekarang." Emosi Ray meledak seketika mendengar jawaban dari Senja.

"Kak gue rasa, kita gak perlu bantu Hendrawan dia udah bunuh mamih." Tatapan Senja menjadi tajam seketika perasaan dingin penuh emosi terlihat dari tatapan itu.

"Hah... Gue rasa emang nggak perlu ada yang kita perbuat buat bantu papih. Gue tau lo pasti kecewa buat masalah ini. Tapi pastinya papih punya alasannya sendiri kan Ja." Kata Ray mengatakan pendapatnya.

"Gue paham ada alasannya tapi bukan berarti harus kalap sampai bunuh kan kak? Buat masalah ini gue gak mau bantu Hendrawan sama sekali." Senja Teguh dengan pendapatnya sendiri.

Ray yang mendengar ucapan Senja mau tidak mau harus berpikir sama karena memang tidak masuk diakal jika Hendrawan melakukan itu.

"Buat kasus ini kita gak perlu bantu dia gue paham. Tapi buat kasus pencucian uang kita perlu bantu Ja, gimana juga kasus ini gak cuma dilakuin sama papih. Mamih juga ikut dikasus ini kan?" Kata Ray. Senja berpikir ketat untuk masalah ini karena bukan kesalahan penuh milik Hendrawan.

"Kak gue takut penyitaan Aset." Senja berkata lirih.

"Lo gak perlu mikir masalah ini seharusnya lo masih bisa ditanggung biaya sama kita bertiga." Kata Ray meyakinkan.

"Gue gak yakin kali ini, apalagi sikap kak Ryan sama Kak Rendi ngungkapin jelas kalo mereka mulai menjauh dari gue." Senja bukan lagi gadis berusia 10 tahun yang akan langsung percaya dengan perkataan Ray.

"Lo nggak perlu mikir yang enggak enggg yanak buat masalah ini urusan gue. Gue bakal bilang ke dua bajingan itu kalo sampe gak mau nanggung biaya hidup lo gue kasih mereka pelajaran ya pas buat mereka." Ray meyakinkan Senja sekali lagi. Dihatinya Senja adalah perempuan yang perlu dia lindungin selain ibunya.

Senja mengangguk menanggapi perkataan Ray. Dia tidak mau mengecewakan kakaknya yang sudah membuatnya berusaha percaya pada perkataannya.

"Kemas barang lo yang memang perlu, jangan lupa bawa barang yang bisa menghasilkan uang nantinya. Kita perlu jaga jaga buat kedepannya." Senja langsung bergegas untuk berkemas begitu juga dengan Ray.

Tak ada pertanyaan yang akan dia ajukan saat ini karena Senja sudah paham akan jalan pikiran Ray. Lebih baik mereka untuk pergi sekarang untuk menghindari rasa malu berlebih saat pihak berwajib menyita rumah.

Sikap Dewasa akan lebih awal lahir ketika kita berada di dalam kondisi yang mendesak kita untuk jatuh kebawah dengan tunduk dan memikirkan bagaimana jalan keluarnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 24, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Masih Ada Cerita di Ujung SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang