00. PROLOG

8 2 9
                                    

“Jadi mandiri itu harus, tapi percaya diri itu wajib.”

•••⁽⁠⁽ଘଓ ⁾⁠⁾•••

Drtttt..drrttt...nyahoooo~

"Ah...sudah pagi, ya?" Ucapnya menghela nafas panjang, mematikan alarm sebelum beranjak dari ranjang single bed-nya.

Seperti biasa, kegiatan pagi tidak boleh terlewatkan sebelum berangkat sekolah.

Jika pada umumnya seorang siswi akan berlama-lama melakukan ritual mandi serta bersiap sebelum sekolah, Laira berbeda. Bangun selalu mepet jam berangkat sekolah, sepuluh menit setelah bangun ia telah siap menuju halte bus.

Kadang jika terlambat sedikit, ia harus rela menaiki angkot yang datang dari pasar mengantar ibu-ibu rempong.

Klik!

Suara pintu rumah nya telah terkunci. Kaki jenjang yang mungil itu melangkah perlahan hingga menambah kecepatan saat melihat jam tangannya.

07.15

Lagi lima belas menit saja bel di sekolah akan berdering, lima menit berjalan, sepuluh menit sampai dengan bus. Oke, perhitungannya sudah pas. "Pagi, Ra!" Sapa Bintang teman beda sekolahnya yang satu bus dengannya.

"Eh, tumben baru dateng. Kesiangan?" Binbin menggeleng.

"Enggak kok, kaki gue lecet dikit njir," keduanya hendak duduk namun, belum sampai bus sudah lebih dahulu datang membuat dua gadis itu segera naik agar tidak keburu penuh oleh penumpang lain.

"Hati-hati, Bin. Kenapa sampai lecet gini deh, gaada obat apa di sini ya?" Celoteh Laira saat memeriksa keadaan lutut Binbin yang lecet di sampingnya.

Dengan susah payah ia menerobos kerumunan penumpang yang berdiri dan bertanya kepada sopir bus apakah memiliki obat merah. Dan ternyata ada, namun sudah habis.

Binbin menyuruh agar Laira duduk saja dan biarkan nanti ia urus di sekolahnya untuk di obati.

Sampai didepan halte sekolah, Laira harus turun duluan dari Bintang yang sekolahnya lima menit perjalanan lagi. Belum ia sampai berjalan ke area sekolah, disekitarnya sudah bising banyak yang bergosip dan saling berlarian takut terlambat.

Hingga sampai di depan kelas MIPA 2, Laira dihentikan oleh temannya. "Ra, bentar dulu. Pokoknya lo harus tahu ini." Gadis itu sedikit kaget dan langsung mengikuti temannya yang menggandeng tangannya ke kelas sambil mencari sesuatu di ponsel yang dipegangnya.

"Aku naruh tas dulu, Del." Laira melepas gandengan tangan Adel yang setelah itu langsung menyondorkan ponsel ke wajah gadis itu.

Laira membeku.

"Adel...". Mereka berdua saling menatap satu sama lain.

"Gimana? Gue aja pas baru lihat ga nyangka sama sekali, Ra."

Laira menghela nafas antara percaya dan tidak sulit untuk mengatakannya saat ini. "Aku ngga tahu mau ngomong apa, antara bingung, sedih, sama kecewa...". Adel langsung membawa gadis itu untuk duduk.

"Apa yang ngebuat lo bingung lagi, Ra?" Adel meyakinkannya bahwa apa yang telah mereka berdua lihat adalah kenyataan.

"Tapi kan, dia udah janji bakalan enggak mengulangi hal yang sama. Tapi itu-"

"Ra, pada umumnya semua cowok itu punya sifat yang sama. Kalau awalnya dia janji, pada akhirnya bakalan ada dua pilihan aja, antara di tepati atau di langgar. Lo ngerti kan maksud gue?" Laira mengangguk.

"Gimana keadaan bangunan belakang?" Adel menghebusk nafasnya kasar.

"Rusak parah, Ra. Tapi, untungnya berita ini belum sampai ke Pak Ardhan jadi, masih ada kemungkinan kita semua aman,"

LAIRAA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang