Bab 2: Cerita Cappuccino

10 3 7
                                    

"Lho, Mar, tumben cat kuku?" Kevin menaruh tasnya di meja lalu memutar kursinya untuk menghadap gadis itu.

Suasana kelas pagi itu sangat sepi, hanya ada beberapa orang yang entah melakukan apa. Ada yang membolak-balik buku, ada juga yang mengobrol di ujung pintu sambil menghalangi jalan menuju ke dalam atau luar kelas.

"Hmm ini? Yah, aku.." Amara menelan ludah. Ia sama sekali belum menceritakan kejadian kemarin. Sebenarnya ia ingin chat dengan Kevin semalam selagi masih baru terjadi, namun rasa kantuk melebihi segalanya. "Entahlah, aku tiba-tiba terinspirasi,"

"Oh begitu," sahut Kevin kaku. "Sebentar, kau lupa menceritakan apa yang terjadi kemarin,"

Ternyata dia ingat.

Amara tertawa hambar, "Iya. Kafe itu tidak seperti yang kubayangkan ternyata. Pemilik baik, teleponnya baik, kopinya juga.. lumayan."

"Aku tidak menanyakan itu. Kau curhat apa kemarin?" Kevin menundukkan kepala di balik lipatan tangannya, sedikit mengarahkannya ke Amara.

"Sebenarnya aku tidak banyak yang dibicarakan...tapi menurutku apa yang beliau katakan masuk akal untuk sesi curhat gratis," Amara berbohong. Pertemuan kemarin benar-benar kacau dan tidak terlalu sukses. Ia berpikir dengan menjawab itu Kevin tidak bertanya lagi.

"Oh begitu, ya," ulang Kevin mengiyakan.

"Iya benar.." tutup Amara. Di balik percakapan pagi itu tak jauh dari mereka, seorang gadis berkacamata sedang mendengarkan sejak tadi. Tidak hanya mereka saja, di balik sketsa dan guratan tipis di buku, gadis itu selalu mendengarkan apa yang terjadi.

**

Di kelas dua belas tujuan Desi sangat sederhana, untuk segera lulus, masuk universitas dan sisanya mengikuti. Saat pagi sebelum kelas dia mendengarkan, siang juga mendengarkan pelajaran, dan sorenya dia juga sama mendengarkan orang tuanya. Dengar, dengar, dengar.

Pastinya seorang pendengar pun pasti butuh didengarkan.

Masalahnya dia tidak tahu apa yang baik didengar oleh orang lain. Sehingga selain ketiga tujuan itu, peran inilah yang terberat.

"Kau tau kafe aneh itu? Pemiliknya baik lho. Kemarin aku bicara tentang nilai ujianku yang merah, langsung dinasehati," bisik pria berambut cokelat terang dua kursi di depannya.

"Orang normal pasti juga begitu," sahut temannya malas menanggapi.

"Bukan-bukan. Beliau tidak bilang 'oh kau harus belajar lebih rajin' atau bagaimana. Malah lebih menenangkan. Aku bingung cara menjelaskannya,"

Desi menyibakkan rambutnya ke balik telinga, lalu lanjut menggambar.

Pria-rambut-cokelat melanjutkan, "Pemilik benar-benar baik. Kau coba sendiri saja ke sana. Anggap saja seperti didengarkan. Pernah tidak kau punya teman yang mendengarkanmu bicara apa saja tanpa henti selama berjam-jam?"

Tidak pernah, batin Desi.

Dari itulah Desi kembali lagi ke tempat itu.

**

"Halo," sahut Desi setelah memencet nomor di telepon kafe itu.

"Halo juga, dengan?"

"Desi,"

Pemilik menarik nafas kaget sampai terdengar di telepon, "Oh kau yang beberapa hari lalu itu? Bagaimana sekolah? Sudah mulai terbiasa? Apa yang membebanimu hari ini?"

Desi ingat terakhir kali ia kemari ia menceritakan hari-hari pertama kelas dua belas. Tentang dirinya yang selalu kesepian, dan juga belum bisa menyesuaikan diri. Namun mungkin ia terlalu berlebihan dalam menceritakan ke pemilik, tanpa sadar air matanya mengalir tanpa henti. Oleh karena itu rumor itu menyebar kalau dia pulang menangis membawa sepeda.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 26, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Curhat Lebih Mahal Daripada KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang