22. Pesona Eden dan Para Penggemarnya
***
Jerdian memasuki pekarangan rumahnya. Dia turun dan langsung menghampiri pintu mobil di sisi sebelahnya. Juandra masih tertidur lelap dengan di balut jaket milik cowok itu yang kebetulan ada di kursi bagian belakang. Dengan perlahan, Jerdian mencoba mengangkat tubuh berat kembarannya itu, sebelum sebuah suara menghentikan kegiatannya.
"Biar ayah aja, kamu tolong bawain tas Juandra."
Jerdian pun mengangguk, biar bagaimana pun, soal tenaga pasti ayahnya lah yang lebih kuat. Netra Jerdian tak lepas dari laki-laki paruh baya yang kini menggendong saudara kembarnya, dan dia hanya bisa mengekori dalam diam. Kan, benar apa katanya, ayahnya itu tetaplah seorang ayah yang akan terus peduli dengan anak-anaknya. Jerdian menaruh tas Juandra di kursi belajarnya, lalu menatap sang ayah yang kini duduk di pinggir kasur. Keheningan tercipta di dalam sebuah kamar berukuran sedang ini. Merasa bahwa suasana di sini mulai dingin, cowok jangkung itu memilih untuk segera keluar. Meninggalkan ayah dan salah satu anaknya. Baru saja, ia memegang knop pintu, langkahnya terhenti.
"Ayah boleh minta tolong?" Jerdian menoleh pada sang ayah, kemudian mengangguk sebagai jawaban. "Jagain Juandra kalo ayah udah nggak ada."
Hati Jerdian seolah teriris. Bukankah ini keterlaluan? Anak ayahnya kan bukan cuma Juandra, harusnya yang ayah katakan itu, mereka saling jaga. Bukan malah semua di limpahkan ke dirinya. Lagipula memang ayahnya akan pergi kemana?
Pikirannya tiba-tiba berkecamuk. Segala kemungkinan yang paling buruk, terlintas di otaknya. Jerdian menatap wajah ayahnya yang terlihat lelah. Entah kekuatan dari mana, akhirnya cowok itu kembali mengangguk, menyanggupi keinginan sang ayah, Jemian. Sepeninggalan salah satu anaknya, Jemian menghela napas berat sembari mengusap wajahnya kasar. Matanya kemudian beralih ke anaknya yang lain, yang tertidur lelap. Laki-laki paruh baya itu menarik selimut sampai ke leher Juandra, memastikan bahwa anaknya mendapat kehangatan.
Jemian berjalan keluar, menutup pintu kamar sepelan yang ia bisa. Niatnya mau pergi ke ruang kerja, namun malah menghampiri Jerdian yang duduk di ruang tamu.
"Ayah denger kamu jadi ketua basket." kata Jemian, membuka obrolan. "Cuma daftar karena iseng, eh kepilih."
"Nilai kamu juga membaik. Ada yang mau kamu minta?" tuduh sang ayah dengan wajah menyelidik.
"Ayah tuh su'udzon terus ya sama aku. Kenapa ayah tanya gitu? Takut kalo aku minta motor aku balik? Besok-besok aku nol-in aja semua nilai aku sekalian."
"Berani banget kamu bicara begitu sama ayah," sentak sang ayah yang kini mulai tersulut emosi. Ingatkan mereka bahwa mereka adalah ayah dan anak yang memiliki kesamaan watak. Sama-sama keras kepala dan mudah terpancing emosi. Jika keduanya terlibat dalam percakapan, pasti hanya akan berakhir dengan pertengkaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Sisi (Selesai)
Fiksi RemajaJerdian dan Juandra, si kembar yang berlomba-lomba untuk menutupi lukanya masing-masing. Terlihat saling ingin menjatuhkan, padahal mereka saling sayang. Mereka hanya tak tau bagaimana caranya menunjukkan rasa sayang seperti orang pada umumnya. Mamp...