Prolog

13 3 4
                                    

Hingga aku pergi sampai Jepang yang notabene adalah negara orang, mereka tak pernah menanyakan kabarku. Aku jadi terkesan kabur dari rumah. Ya, walaupun memang kenyataannya begitu. Aku sudah muak mendengar alasan mereka yang semuanya dilakukan karena untuk diriku. Tidakkah mereka menyadari, raga mereka memang ada. Namun, jiwa mereka pergi entah kemana. Membiarkanku untuk dewasa sendiri tanpa dukungan spiritual dari mereka. Ah, siapa yang kumaksud? Tentu saja ibu dan ayah tiriku. Ya, ayah kandungku sudah tiada sesaat aku dinyatakan lulus pendaftaran SMA bergengsi di Yogyakarta.

Aku kehilangan sumber semangatku setelah kepergian  ayah. Ibuku, dia sibuk mengurus perusahaan peninggalan ayah. Terkadang tak pulang, meninggalkanku dirumah hanya bersama Mbok Marsih, pembantu dirumahku yang sudah kuanggap keluarga sendiri. Seiring berjalannya waktu ibuku berubah sikap, seakan dia menyesal telah melahirkanku. Dia menjadi sering memarahiku tanpa mengutarakan  kemauannya. Yah mungkin karena tekanan pekerjaan di kantor. Selama ini ibu hanya membantu ayah dan kini harus diposisi ayah, pasti tidak mudah. Aku berusaha memahami, walaupun aku sendiri juga butuh dipahami. Jujur aku rindu kasih sayang dari orang tuaku. Terkadang aku hanya bisa bercerita kepada Mbok Marsih, kalau tidak ya berkeluh kesah kepada Sang Pemilik Kehidupan. Itu yang diajarkan Mbok Marsih padaku. Sebenarnya perusahaan yang dikelola ibuku bukan perusahaan yang besar, tapi itu adalah hasil kesuksesan dari jerih payah ayahku. Perusahaan properti yang ayah bangun 4 tahun lalu ketika aku mulai duduk dibangku SMP. Aku sendiri tidak bisa membantu ibuku sama sekali. Katanya, cukup menjadi anak yang baik, penurut dan berprestasi. Aku sudah melakukan itu semua.

Awal semester aku tidak kesulitan dalam pelajaran maupun bergaul dengan teman-teman. Bahkan, aku memiliki teman beda kelas atau jurusan. Tidak, aku bukan siswi yang aktif, supel, ataupun populer. Aku mengenal mereka kebetulan saja. Aku tidak suka menjadi siswi yang terlalu menonjol. Bahkan, aku tidak pernah ke kantin sekolahan. Mbok Marsih pun sudah membawakan bekal. Yah, semuanya berjalan seperti yang ada dipikiranku. Mungkin orang akan berpikir aku ini sudah bosan hidup karena terlihat tak bersemangat. Namun, inilah aku. Mau diubah yang bagaimana lagi?

Hingga memasuki akhir semester kedua. Ketika aku akan mengikuti ujian akhir semester yang seminggu lagi akan dimulai, ibuku mengutarakan keinginannya untuk menikah lagi. Saat itu juga duniaku terasa berhenti berputar. Pernyataan macam apa itu, pikirku. Lalu, ibuku berkata bahwa pernikahan akan berlangsung satu bulan lagi. Ditambahlah aku terkejut, itu artinya setelah aku selesai mengikuti ujian akhir semester. 
Setelah ujian akhir semester, ibuku benar-benar menikah lagi dengan rekan bisnisnya. Ya, beliau bernama Hamdan Baskoro. Seorang pengusaha jasa periklanan ternama yang ternyata duda dan memiliki seorang anak laki-laki berusia 20 tahun. Istri dari Pak Hamdan meninggal karena suatu penyakit. 

Beberapa tahun terakhir kehidupanku bersama keluarga baru tak berjalan mulus. Sama seperti ketika ibuku sibuk dengan pekerjaannya. Begitu pula dengan ayah tiriku. Mereka berdua sama-sama sibuk mengurus perusahaan. Aku masih saja ditinggal sendiri dengan Mbok Marsih. Aku tidak suka bermain keluar atau jalan bersama teman. Hidupku terus seperti itu berulang-ulang. Terkadang jika aku tebangun ditengah malam, terdengar ibu dan ayah tiriku adu mulut. Aku lelah dengan semua ini.

Hingga akhir masa studiku di SMA Brawijaya selesai, aku memutuskan untuk mengambil beasiswa ke Negeri Sakura. Ya, Jepang. Dan aku mengalami berbagai hal disana. Banyak makna hidup yang aku temukan dan aku sadari selama aku tinggal dan hidup sebagai mahasiswi. Yah, itulah kisahku yang baru saja dimulai.

Hembusan Angin di TokyoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang