"I have a crush on you, Natalia."
Kerumunan para siswa yang membentuk satu lingkaran besar di lapangan basket siang itu, riuh oleh pekikan dari segala arah. Bersamaan dengan itu, di pusat lingkaran, seorang pemuda berseragam OSIS berlutut di hadapan gadis tambatan hatinya, Natalia. Tangannya terulur membawa sebuket bunga. Sementara Natalia membekap mulutnya tidak menyangka. Gadis itu terlihat sangat bahagia dengan mata berkaca-kaca.
"Mau nggak jadi pacarku?" Kata sang pemuda lagi, membuat seruan-seruan dari hampir seluruh orang di sana kembali terdengar, menyerukan agar sang gadis segera menerima pemuda yang tengah berlutut di hadapannya, "Terima! Terima!"
Hening beberapa saat, sampai Natalia dengan mantap menganggukkan kepalanya lantas berhambur memeluk sang pemuda.
Astaga, seperti melihat Drama Korea. Bedanya, ini disaksikan secara langsung di depan mata, secara cuma-cuma, tanpa harus mengeluarkan uang untuk berlangganan Netflix seperti yang biasa aku lakukan demi menonton drama favoritku.
Aku menggigit bibir bawah, gemas melihat dua sejoli yang sedari tadi jadi pusat perhatian itu saling berpelukan di tengah kerumunan ini. Lucu, aku juga ingin yang seperti itu.
"Gie, tahan gue, Gie." Kataku sambil berpegangan pada lengan Aggie, sahabatku, yang sedari tadi berdiri di sampingku, "Gue mau pingsan. Nggak kuat. Ini cute banget."
Berbanding terbalik denganku, Aggie yang memang tipikal cewek anti-uwu-uwu-klub justru sangat muak melihat adegan peluk-pelukan itu. Dia ingin muntah, sudah tidak tahan rasanya ingin cepat-cepat pergi dari sana. Namun, aku yang keras kepala tetap menahannya dan memaksa Aggie menemaniku hingga detik ini.
Aggie mendengus sambil menyentak tanganku. Agaknya dia sudah berada di puncak kesabarannya. "Udah ah, gue tinggal ya."
Dengan tersendat-sendat akibat banyaknya orang berkerumun, aku mengikuti langkah Aggie yang lebar. Saat tiba tepat di belakang tubuh Aggie, aku menarik tangannya, memintanya berjalan lebih lambat untuk menyamai langkahku. "Tungguin, kek! Jahat banget sama temen sendiri."
"Heh, Lana." Aggie berhenti berjalan, menatapku sembari berkacak pinggang. "Yang dari tadi sabar nungguin lo liat adegan uwu-uwu itu siapa?"
Aku nyengir mendengar sindirannya. Memang dasarnya aku yang tidak tahu diri, menuduh Aggie jahat padaku sementara dia sudah sabar menemaniku melihat pertunjukan langsung bak Drama Korea tadi. Maafkan aku, Aggie.
Ngomong-ngomong, Gebby dan Matt, dua sahabatku yang lain, tidak kelihatan batang hidungnya dari sepuluh menit yang lalu. Aku bertanya, "Si COTY itu di mana?"
COTY adalah julukan yang aku berikan untuk mereka berdua, artinya Couple Of The Year. Ya, Gebby dan Matt memang sudah menjalin hubungan sejak pertengahan tahun ini. Pasangan lain yang bikin aku iri. Huh! Kapan aku punya pacar ya?
"Di kantin. Udah seabad nungguin lo doang, tau nggak?!"
"Maafin Lana, ya." Aku menatap Aggie dengan raut yang kubuat sememelas mungkin, berharap Aggie memberiku maaf dan berhenti marah-marah. Kasihan, takut dia cepat tua.
"Plis, ya, Na. Lo masang muka kayak gitu bukannya bikin gue luluh malah bikin gue pengen mukul lo beneran."
Hiks, Aggie memang tempramen.
Kami lantas berjalan beriringan menuju kantin, menemui Gebby dan Matt yang sudah lama menunggu kedatanganku dan Aggie di sana.
Sampai,
"Woy, awas!"
"Lana!!"
Penghapus papan tulis yang entah datang dari mana, dengan tepat sasaran mengenai dahiku. Itu sakit! Banget! Selain sakit, aku juga malu dilihat oleh orang-orang di sekitar kami. Bahkan, ada juga yang terang-terangan menertawakan aku di tengah musibah yang menimpaku. Jahat! Aku malu! Ingin menghilang saja, Ya Tuhan!
Melihatku yang langsung tersungkur ke lantai dengan pandangan syok dan dahi berdarah, Aggie ikut berjongkok di hadapanku sambil mencengkram kedua bahuku.
"Lo nggak pa-pa, kan? Nggak gegar otak, kan? Masih inget gue, kan?! Ini berapa, Na?" Aggie mengangkat satu jari telunjuknya tepat di depan wajahku. Entah maksudnya apa, mungkin untuk memastikan apakah aku mendadak kehilangan fungsi otakku atau tidak. Namun, aku yang tidak kunjung menjawab pertanyaan Aggie bikin dia makin geregetan. "Jawab, anjrit!"
Aku menoleh ke arah Aggie dengan gerakan kepala slow-mo. Mataku mulai berkaca-kaca lalu mengaduh, "Sakit, Gie."
Dengan bersungut-sungut Aggie berdiri dari posisi jongkoknya lantas berteriak lantang menatap siapapun yang berada di sana sambil menunjuk-nunjuk dahiku yang berdarah, "Siapa yang mau tanggung jawab?!"
Habislah, beruang Grizzly mengamuk!
***
iseng ajjh srius
KAMU SEDANG MEMBACA
He's 10 But
Teen Fiction16+ (too many harshwords, some adult jokes, kissing scene, skinship) Benar kata pepatah, cinta tak harus memiliki. Seharusnya aku tahu bahwa sejak awal pun kita sudah berbeda, lalu menyerah pada perasaan ini. Namun, melupakan segalanya nyatanya tida...