Semilir angin berhembus, menerbangkan dedaunan gugur yang berjatuhan. Ia menunduk, menatap ujung sepatu kets dengan merek ternama itu dengan perasaan sendu nan pahit.
"Bim." Panggil sebuah suara yang sangat amat tidak asing. Namun Ia memilih geming.
"Hayana udah mau dimakamin, lo nggak mau nganterin?" Pertanyaan itu hanya dibalas gelengan lesu.
"Yaudah, gue mau bantu di luar. Lo--jangan aneh aneh." Kali ini Bima mengangguk, obsidian legam itu tak lepas dari angin yang berlalu dari luar jendela kamar milik kekasihnya--Hayana.
Tok tok
Pintu terketuk dengan pelan. Tak ada jawaban dari sang empu yang menempati kamar gelap tersebut.
Pintu terbuka, menampilkan sesosok figur terpenting dalam hidup Bima--Ibunya. Langkahnya sangat pelan dan agak tertatih.
"Bima." Panggilnya dengan lembut, Bima masih terdiam.
"Bim." panggilnya sekali lagi.
"Dalem bu." Suaranya bergetar, Ibu sangat tahu persis perasaan putra semata wayangnya tersebut, karna Ibu sendiri pernah merasakannya, kejadian yang sama persis seperti dulu.
"Hayana sudah diberangkatkan--ikhlaskan ya Bim?" Bima menoleh, hanya untuk menemukan wajah sang Ibu yang sayu namun tetap berusaha tegar.
"Bohong kalau Bima bisa meng-ikhlaskan secepat itu bu. Bima belum sanggup." Pertahanan yang semula Ia bangun, pada akhirnya runtuh jua. Bima menangis tersedu-sedu dalam dekapan hangat sang Ibu. Dekapan hangat yang entah mengapa terasa sangat dingin malam ini.
"Kenapa tuhan jahat sama Bima bu? Kenapa tuhan selalu mengambil sesuatu yang berharga dari Bima?" Suaranya lirih nan pedih membuat hati Ibu merasa ter-iris mendengarnya.
"Sst Bim, jangan menyalahkan tuhan. Tuhan sudah menentukan jalan yang terbaik buat kamu."
"Bima cuma mau Hayana bu, cuma Hayana."
Pada akhirnya, tembok putih kamar Hayana menjadi saksi bisu tangisan sendu seorang Bima Astungkara.
Hayana.
Bukan ini yang aku inginkan.
Bukan lelap panjang yang kamu dambakan.
Aku tidak bisa,
Tidak bisa menyusuri lorong gelap itu sendirian.
Dibalik pintu kayu kamar tersebut, Satria ikut menangis. Bahunya merosot dan hatinya terasa sangat sakit bagai dicambuk 1000 kali, bahkan lebih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Good Ending For Us
Romance"Suatu saat nanti, saya akan menceritakan semuanya." Senyum hangat terukir di bibir itu saat dia melanjutkan ucapannya, "Tentang, aku, kamu, dan perpisahan di Bandung kala itu."