2]. Bisakah?

4 2 0
                                    

Masih sama seperti biasanya, nampaknya hari ini akan menjadi hari hari biasa yang sama seperti hari hari yang sudah berlalu.

Bunyi klakson motor dan sebangsanya memenuhi indra pendengaran seorang figur laki laki yang tengah melamun di antara para remaja-remaja yang tengah bersuka ria. Tepatnya cafe.

Ting

Bunyi lonceng pertanda seseorang datang menggema. Dari arah selatan, datanglah seorang laki-laki semampai. Kulitnya eksotis dan wajahnya cool abis.

"Bim!" Sapanya pada seonggok manusia yang terduduk di barisan paling pojok. Wajahnya kucel, Jaz-nya juga nggak kalah kucel. Gelandangan aja kalah.

"Ngapain lo disini?"

Yang ditanya hanya mengendikkan bahu, membuat sang lawan bicara mendengus malas. Satria kesini tuh buat nemenin Bima, tapi orangnya aja masa bodo gini.

"Kopi aja dicuekin, apalagi gue." Gumamnya lalu meneguk segelas americano--kopi pahit kesukaan bima. Satria bahkan heran, hidup Bima aja udah pahit, eh dianya malah suka yang pahit pahit.

"Eh iya Bim, tadi lo dicariin Ibu lo." Atensi Bima teralih.

"Kenapa?"

"Ya nggak tau, balik aja sono lo. Daripada disini kayak mayat hidup."

"Emang."

Dan setelah percakapan singkat itu Bima beranjak, memunculkan hela napas panjang dari Satria yang menatap punggung laki-laki tersebut dengan nanar.

🍀🍀🍀

Pekarangan rumah yang besarnya tak seberapa itu menyambut kepulangan Bima dari lembur kerja yang panjang. Rumput-rumputnya terpotong dengan rapi, pun dengan jejeran bunga warna warni yang tersusun di pinggiran--sejujurnya Bima tidak tahu nama Bunga-bunga tersebut, karna yang menanamnya adalah sang Ibu dan kekasihnya--Hayana.

"Assalamualaikum bu, Bima pulang."

"Waalaikumsalam." Dari balik tembok pembatas ruang tengah dan dapur, Ibu tersenyum simpul. Jari-jari yang mulai mengeriput itu menarik tangan yang lebih muda agar mengikuti arahnya menuju sofa berwarna Biru dongker yang terletak di ruang tengah.

"Hari ini kamu ingat?" Tanya Ibu tepat setelah mereka berdua duduk diatas sofa.

Bima tersenyum gamang, jelas. Ia sangat ingat dengan hari istimewa ini. Hari istimewa yang terlalu menyakitkan untuk dikenang.

"Bima ingat bu." Jawab Bima pada sang Ibu. Tidak seperti tahun tahun yang telah berlalu, kali ini Bima hanya tersenyum.

"Mau berkunjung kapan?"

"Mungkin nanti." Jawaban yang terdengar ringan, namun menyimpan banyak keraguan disana.

"Berkunjungnya jangan terlalu sore, maaf hari ini ibu nggak bisa nemenin karna mau jenguk tetangga, dia abis kecelakaan tadi pagi."

"Siapa bu?"

"Ituloh mas Angga."

Bima mengangguk, ia kenal dengan laki-laki tersebut. Namun hanya sebatas tahu nama saja, Bima tidak pernah akrab dengan laki-laki slengean itu atau, dia tak pernah berharap akrab dengannya.

Mas Angga itu orangnya memang baik, tapi dia hobi sekali mengajak perempuan check in--tahulah. Makanya Bima tidak suka dekat dekat dengan orang itu.

Good Ending For UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang