Langkah Pertama

309 32 8
                                    

Delapan belas tahun hidup, cowok dengan nama lahir Kano Anderson itu tidak pernah sekalipun menyukai keramaian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Delapan belas tahun hidup, cowok dengan nama lahir Kano Anderson itu tidak pernah sekalipun menyukai keramaian. Ia benci riuh yang menyeruak di sekitarnya, ia benci berada di antara orang-orang yang kini saling berdesakan dan ia juga benci bagaimana mereka saling membagi tawa di tengah interaksi yang mereka lakukan. Sama seperti Mama yang tertawa dengan tingkah ajaib Kael, atau Papa yang tertawa saat mendengar cerita Kak Kin. Kano benci, sangat benci, sebab ia tidak pernah bisa seperti mereka, tertawa seolah tidak ada kesedihan di dunia ini.

Pagi ini, di saat matahari bahkan masih belum sepenuhnya menampakkan diri, Kano terpaksa harus terjebak di tengah ramainya suasana pasar. Semua ini karena Kael, Adiknya, subuh tadi anak itu berteriak heboh hingga membangunkan seisi rumah hanya karena lupa tidak membeli bahan untuk tugasnya hari ini. Kano bahkan belum sempat membasuh wajahnya saat pintu kamarnya tiba-tiba terbuka dan menampilkan sosok Mama dengan tatapan memohon setelahnya.
Terlampau mengerti, Kano menghela napas dan segera menarik hoodienya untuk kemudian pergi ke pasar tradisional yang tak jauh dari rumahnya, tentunya untuk membeli bahan tugas Kael.

"Padahal tadi Kak Kin udah bangun duluan, bahkan udah seger. Tapi kenapa harus gue yang beli tugasnya Kael, gue juga kan perlu siap-siap buat berangkat ke sekolah," keluhnya sambil menghentakkan kaki kesal, Kano hanya tak terima, kenapa dia yang selalu jadi korbannya.

Setelah berkeliling hampir seluruh area pasar, Kano akhirnya bisa bernapas lega saat berhasil mendapatkan kacang hijau pesanan Kael. Terakhir kali menginjakkan kaki di pasar saat masih di bangku sekolah dasar, membuat Kano sedikit kewalahan hanya karena mencari kedai tempat kacang hijau berada, sebab ia benar-benar buta tentang tata letak pasar ini.

Dentang waktu kini menunjuk pukul enam lebih lima puluh menit, kedua mata Kano seketika membulat, ia harus tiba di rumah sebelum Kael pergi ke Sekolah. Namun suasana pasar yang semakin ramai, membuat Kano harus terjebak di tengah hiruk pikuk pasar yang membisingkan. Tubuhnya terhimpit sana sini karena berdesak-desakan dengan tubuh orang lain, keringat sebesar biji jagung menetes dan membasahi pipinya. Kano berusaha membelah keramaian, butuh beberapa menit sampai akhirnya ia bisa terbebas dari kerumunan dan bernapas dengan lega.

Kemudian tanpa banyak berpikir, Kano segera membawa motornya dan melaju membelah jalanan. Jarak pasar dan rumahnya tidak terlalu jauh, ia akan segera sampai hanya dalam waktu beberapa menit saja. Dengan begitu seharusnya Kano tidak perlu khawatir, bukan? Ia hanya perlu berhati-hati agar dirinya dan kacang hijau bisa selamat sampai rumah. Namun rasanya seperti ada yang berteriak di kepalanya, memaksa Kano untuk mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Jantungnya berdebar kencang, ia tidak bisa tenang, yang ada di dalam pikirannya hanyalah membawa kacang hijau ini ke tangan Kael dengan tepat waktu.

Sedikit lagi sampai, Kano hanya perlu menyeberangi jalan besar sebelum akhirnya belok menuju kompleks perumahannya. Kano yakin ia sudah menyalakan tanda sein sebagai peringatan bahwa ia akan berbelok, namun ternyata, motornya harus tersenggol mobil pick up yang melaju kencang dari arah belakang.

Beranjak DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang