A HURT TO A KINDNESS

34 5 4
                                    


"Hei, kamu malas-malasan terus kamu bodoh atau apa? Skripsi sudah lewat 4 tahun belum juga rampung!! mama malu punya anak kayak kamu, Lina seumur kamu udah kerja!!". Kata-kata menyakitkan ini datang dari mama dan terus tengiang-ngiang di kepalaku. Aku menyeruput es teh manis dengan kasar, mengepalkan tangan diatas laptop yang sedari tadi terbuka. Aku berusaha keras menahan agar tangisanku tidak keluar, malu kalau sekiranya pegawai atau pengunjung kafe memergokiku. Nasi goreng didepanku sudah dingin, karena hanya kumain-mainkan sedari tadi.

Namaku Laura Fairylova. Aku selalu ke kafe ini setiap hatiku merasa tidak enak. Dan paling sering hal itu terjadi karena omelan mama. Dari dulu, mama sangat membenci kegagalan. Dia berpikir aku adalah robot yang hidupnya harus terprogram sempurna.

Masalah skripsi, bukannya aku tidak berusaha menyelesaikan studyku. Hanya saja tentu kita memiliki kesulitan masing-masing dalam menyelesaikan skripsi, setiap mahasiswa tingkat akhir pasti merasakan itu. Belum lagi mood dan ide-ide menulis yang tidak selalu muncul. Kuakui, terkadang aku terbawa rasa malas dan khilaf melupakan skripsiku. Namun itu tidak bisa dijadikan alasan untuk mama berkata sekasar itu. Aku sedang membutuhkan dukungan, bukan kalimat-kalimat menyakitkan yang memperburuk keadaanku. Karena jujur aku juga terpuruk melihat satu persatu teman dekatku berhasil mencapai tahap sidang. Mama selalu menuntut, tanpa ingin tahu kesulitan-kesulitan yang sedang kulalui.

+++++

Rasanya baru 6 bulan lalu mama mencium hangat pipiku, tersenyum lega sekaligus bangga menatapku mengenakan toga. Dengan senang hati dari awal acara kelulusan hingga berakhir tangan mama tidak lepas dari handphone untuk mengambil potretku. Senyum itu tidak pernah lepas dari bibirnya. Ketika namaku disebut untuk pengambilan ijazah mama berdiri dengan tegapnya, menegaskan pada semua orang di ruangan itu bahwa aku yang berjalan ke depan itu adalah anaknya. Beban besarku rasanya terangkat, tidak ada lagi pertengkaran-pertengkaran mengenai kuliahku.

Kukira hari itu adalah hari kebebasanku, ketika hari-hari panjang penuh keluh kesah akhirnya berhasil kulalui. Tapi pada kenyataannya, hari ini aku duduk di kafe ini. Lagi. Layar HP ku terus berdering. Ada puluhan panggilan yang tak kujawab dari mama. Aku berhasil meraih gelar sarjana dan sudah terbilang 6 bulan ini aku sukses menganggur. Setelah jungkir balik belajar, menulis skripsi, tak dihargai hanya tekanan demi tekanan yang diberikan oleh mama, sampai sekarang mama masih belum puas untuk menerorku dan menghantuiku. Entah pada panggilan ke berapa aku memutuskan mengangkat telfon dari mama.

"Kenapa tiba-tiba pergi? Kalau kamu tidak terima dibilang pecundang. Buktikan. kenyataannya, Maria memang lebih hebat darimu. Maria mampu. Dan kau? Tidak."

Mataku terasa panas. Mungkin orang-orang diluar sana akan berpikir, mana mungkin ada orang tua yang kata-katanya sekejam mama. Tapi itulah itulah kenyataannya. Jadi, hari ini aku dan teman dekatku mengikuti program walk in interview di sebuah perusahaan besar untuk melamar pekerjaan. Maria berhasil lolos hingga tahap interview, sedangkan aku sudah gugur di tahap psikotes. Mama tidak dapat menerima semua itu.

"Mama pikir aku tidak berusaha? Dengar. Aku tidak akan pulang."

"Siapa yang menyuruhmu pulang? Renungilah masa depanmu di luar sana, toh jika lapar, kamu akan pulang. Memang ada uang untuk makan? Sadar tidak? Motor yang kamu pakai untuk kabur itu? Itu masi mama yang belikan. Jadi, jangan sok jadi anak. Kamu tidak tahu betapa sulit aku membesarkanmu"

"Ya, aku akan pulang kalau uangku sudah habis, setidaknya beberapa hari ini aku tidak perlu bertengkar dengan mama."

Cepat-cepat kuputuskan sambungan telfon, sebelum aku harus mendengar kata-kata yang lebih menyakitkan lagi. Mama memang tipe yang hebat dalam merancang kalimat-kalimat kasar. Mungkin jika aku membalas 2 kalimat penyerangan, mama akan membabi buta dengan 4,5 bahkan 10 kalimat lebih.

MAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang