Senyum Viola merekah kala melihat hujan deras turun siang ini. Meski sekarang ia terjebak di gedung kelas 10 dan sialnya ia tidak membawa payung. Viola mungkin akan telat jika dalam 10 menit ia tidak kembali ke kelas, namun kali ini perempuan itu tidak peduli akan hal itu. Viola lebih memilih duduk di depan uks sembari menunggu hujan reda.Karena hujan selalu mengingatkannya pada Kasa. Kasa suka memeluknya, Kasa suka bermain gitar, Kasa suka menari dan itu semua Kasa lakukan di saat hujan turun. Hujan selalu memberikan mood bagus untuk Kasa.
Meski sebagian besar memorinya bersama Kasa diisi dengan kenangan saat hujan, lantas tidak membuat Viola membenci hujan saat Kasa sudah tak ada. Justru ia berterima kasih pada hujan, karenanya ia bisa melihat Kasa tersenyum bahagia. Hal yang tak bisa Viola lakukan.
Viola memeluk kedua bahunya. Kedinginan sebab ia tak memakai sweater atau jaket yang biasanya selalu ia kenakan. Viola akhirnya memilih masuk ke dalam ruang uks untuk menghangatkan diri.
Saat masuk ke dalam ia tidak menemukan mba Raya, penjaga uks di sana. Hanya ada seorang laki-laki dibalik penyekat yang bisa Viola dengar sedang mengaduh kesakitan. Viola mendekatinya perlahan-lahan, pandangannya berpendar ketika menemukan laki-laki yang ia kenal ada disana. "Kenapa lo?"
Fokus Harland beralih dari lututnya ke Viola yang sedang menghampirinya. "Jatuh."
"Gara-gara manjat gedung sekolah lagi?"
Harland mengangguk kecil tanpa menoleh, masih mengobati lukanya dengan kapas dan betadine.
"Mending lo berhenti ngelakuin kebiasaan manjat-manjat begini deh, ini masih untung cuma luka kecil, kalau patah gimana coba? Gedung sekolah kita tuh tinggi, bukan kaya manjat pohon," ucap Viola, duduk di depan Harland.
Harland hanya tertawa kecil sebagai balasan untuk omelan Viola. "Gue ngga tau lo sepeduli ini sama orang lain."
Viola mendengus. "Gue bilang gini karena gue pernah jatuh kaya lo waktu latihan cheers, bedanya tulang gue sampe patah." jelas Viola.
"Lo pernah ikut cheers?"
"Iya dulu."
"Kok berhenti? Gara-gara jatuh itu?"
"Ya engga sih.. tapi itu juga salah satu alasannya. Makanya kan gue ngingetin lo sebelum kejadian kaya gue." Viola membuang pandangannya, terlihat tak ingin membahas topik itu sama sekali.
Harland mengangguk paham. "Iya makasih pio udah ngingetin gue. Tapi buat gue kegiatan kaya gini salah satu cara buat nenangin diri dari masalah, bukan cuma sekedar kabur doang."
Viola menegakkan tubuhnya, "tunggu, tadi lo manggil nama gue apa?"
"Pio."
"Kenapa pio???"
"Viola, pio. lucu kan?"
"Dih emang kita sedeket itu buat manggil pake nama buatan sendiri gini?" tanya Viola, tak terima dipanggil pio.
"Gue sih pengin deket sama lo, kalau lo gimana?" Harland tersenyum miring.
Viola memicingkan matanya dengan pertanyaan tiba tiba dari Harland. Viola tak punya pikiran sama sekali untuk dekat dengan seseorang apalagi orang seperti Harland. Tapi belum sempat Viola menjawab, Harland sudah lebih dulu berbicara.
"I'll take that as a yes."
"I didn't say anything? Lagipula kenapa lo mau deket sama gue sih?"
"Because i see you as lost as i'm, Viola."
Viola terdiam mendengar jawaban Harland. Ia memperhatikan tatapan mata pemuda itu dan di dalam tatapan yang mereka tukarkan itu, Viola baru menyadari nya sekarang. Tatapan itu sekosong miliknya. Mereka berdua memiliki kesamaan.
Viola mengalihkan pandangannya ke arah lain. Melihat ke luar jendela, dari sini ia bisa melihat lapangan basket yang basah oleh hujan yang mengguyur dari setengah jam yang lalu.
Tak lama Viola merasa hangat menghampirinya, ia menoleh dan menemukan Harland menyampirkan jaketnya di pundak Viola. Viola yang melihat itu jelas terperangah sesaat.
"Pake jaket gue biar ngga dingin."
"Lo?"
"Gue ada selimut, hujan-hujan gini enaknya tidur." Harland membalikan badannya dan tidur dengan arah yang berlawanan dengan Viola. Diam-diam ia malah membuka ponselnya dan bermain game.
Harland asik dengan gamenya sampai beberapa saat kemudian ia bangun dari tidurnya. "Pio," panggil Harland
Viola menengok, "apa?
"Kasih nama peliharaan gue dong." Harland memperlihatkan peliharaan anjing nya yang ada di layar hp.
"Wow lucu banget," jawab Viola berusaha terdengar biasa saja namun dari binar matanya pun Harland bisa melihat antusiasnya. Kali ini Harland tidak bisa menahan senyumannya begitu saja. Harland tak tahu perasaan saat melihat Viola antusias akan jadi semenyenangkan ini.
"Mingki cocok tuh kayanya," saran Viola.
"Mau coba main ngga?"
Baru saja Viola hendak mengiyakan, ia baru ingat sesuatu. "Katanya mau tidur?? Gimana sih."
"Ngga jadi, gue kalau tidur kadang takut."
"Takut kenapa?"
Harland mengetuk-ngetuk jarinya pada casing hp berpikir sebentar. "Takut ngga bisa bangun, kadang mimpi buruk." Ekspresi Harland berubah sepersekian detik sebelum menjawab kembali. "Waktu itu gue pernah mimpi ngga bisa diliat orang, terus orang-orang jadi pendek banget. Ternyata gue lagi jadi tiang listrik," ucapnya asal
Viola tertawa kecil tanpa sadar, "bego."
Namun tadi Viola merasa ekspresi dan intonasi bicaranya jelas sekali berubah. Seperti ada sesuatu yang Harland sembunyikan, membuat Viola ingin tahu apa yang terjadi kepada pemuda itu.
"Mau main nggaa??" Tanya Harland mengalihkan topik.
"Yaudah iyaa."
KAMU SEDANG MEMBACA
unsent letters
Teen FictionFt. Haruto & Wonyoung A letter to God's most captivating creation. I have loved you even before the word ⠀⠀existed and I will still love you long ⠀⠀after it is gone.