2J : Bab 25

2.1K 262 33
                                        

Hai, absen asal kota kalian yuk, sebelum baca ini💗

Aku mau minta tolong juga, kalo ada typo boleh langsung kasih tahu lewat komen🥰

Selamat membaca si kembar

***

25. Kehilangan Separuh Dunia

***

Seseorang menepuk bahu lebar Jerdian, yang cowok itu yakini jika pelakunya adalah Pak Sapto. Dengan tanpa dosa, dia menyodorkan sebungkus rokok dari saku celananya. "Bapak mau?"

"Saya nggak ngerokok."

"Padahal kan—"

"Kalo bukan Djarum Super," Potong Pak Sapto dengan memamerkan bungkus rokok berwarna merah itu. Jerdian yang melihatnya sontak terkekeh dan mengacungkan dua jempolnya. "Mantap, Pak."

Kini, keduanya seperti sedang berlomba meniupkan kepulan asap rokok yang berbeda, lalu melebur jadi satu. Yang orang pikir, mungkin Pak Sapto adalah guru yang buruk dan harus di tuntut karena membiarkan anak didiknya merokok dan malah ikut-ikutan. Padahal, niat Pak Sapto hanyalah membuat Jerdian terasa lebih nyaman dulu, sebelum ia mengorek banyak informasi dari anak itu. Selama kurang lebih dua tahun mengurus Jerdian yang keluar masuk BK, membuat laki-laki paruh baya itu sedikit memahami karakter si bocah tengil. Anak muridnya itu tak akan suka ketika di paksa bercerita, dan ketika dia sudah bercerita, dia hanya butuh untuk di dengarkan tanpa embel-embel nasihat yang pada akhirnya hanya menyudutkan cowok itu sendiri.

"Kayaknya saya udah buat dosa, tapi Tuhan masih baik, pertemuin saya sama bapak sebagai perantara pertolongan," kata Jerdian sembari menginjak puntung rokoknya yang tinggal sedikit.

"Nggak ada manusia yang nggak punya dosa."

"Oh iya, bapak tinggal sendiri?"

"Sama kamu."

"Maksud saya, sebelum saya dateng ke sini." Terlihat Jerdian yang mulai frustasi dengan jawaban Pak Sapto. "Bercanda. Baru tadi, saya antar istri saya ke terminal karena mau pulang kampung, ngurusin mertua yang lagi sakit. Terus saya ketemu salah satu murid saya, dan akhirnya saya pungut buat di bawa ke rumah."

"Emangnya saya kucing, Pak, di pungut begitu bahasanya," ujar Jerdian sebal. Tiba-tiba suasana hening seiring dengan tetesan hujan terakhir yang membasahi bumi. Mulai terlihat bayangan pelangi di atas sana. Warna-warni cantik yang berdampingan menjadi satu.

"Saya akan bicara tapi bukan sebagai guru, melainkan sebagai teman," ujar Pak Sapto yang mencoba kembali membuka topik pembicaraan. Sebelum kembali melanjutkan omongannya, Pak Sapto mematikan rokok yang yang sudah setengah batang itu. "Jerdian, apapun yang terjadi kemarin, tidak bisa di ulang, begitupun hal yang akan terjadi hari ini atau esok, itu juga tidak bisa di prediksi. Jadi, jangan ambil langkah yang mendadak tanpa memikirkan resiko jangka panjangnya."

Jerdian menarik napas dalam-dalam, membenarkan apa yang Pak Sapto lontarkan. Rasa sakit hati telah membuat Jerdian jadi berpikir pendek. Padahal, kabur dari rumah pun tak membuat semua masalah hidupnya menghilang, justru malah memperparah keadaan. Dia kini jadi membayangkan bagaimana reaksi sang ayah ketika tahu salah satu anaknya tidak ada di rumah. Tapi, kembali lagi ke karakter Jerdian yang gengsian, cowok itu tak akan secepat ini untuk kembali ke rumah. Bisa-bisa ayahnya malah menertawakan dirinya, dan semakin menganggap omongan Jerdian hanya bualan semata.

***

Di belahan bumi lain, Juandra sedang asik nongkrong dengan para Eden. Cowok itu menyala-matikan ponselnya sejak tadi, menunggu pesan dari kembarannya. Sudah seharian ini, Jerdian tak ada kabar, bahkan panggilan yang Juandra ajukan pun di tolak oleh sang pemilik nomor. Dia menutup wajah dengan bertumpu di kedua tangannya. Hari ini terasa penat karena dia ekstra belajar untuk olimpiade yang sebentar lagi akan di laksanakan, berhubung ayah dan kembarannya tadi pagi melakukan perang dadakan, Juandra jadi malas langsung pulang ke rumah. Alhasil dia mengajak teman-temannya singgah di sebuah coffe shop langganan mereka. Tapi, sekarang hatinya malah gelisah ketika mengingat kembarannya yang pergi dan tak mengirimi pesan sejak tadi pagi.

Dua Sisi (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang