Bismillahirrahmanirrahim.
Semoga Allah mudahkan segala hal.***
Tadi siang Emilia Vivian baru saja tiba di Yogyakarta selepas hampir dua pekan berada di kota berbeda. Hal yang paling dirindukannya adalah duduk di balkon kamar sembari menikmati momen cakrawala berubah temaram. Sayang, sore ini langit Yogyakarta terlihat kelabu. Senja yang seharusnya sudah timbul di permukaan, memilih untuk mengasingkan diri dan bersembunyi. Padahal gadis berambut sebahu itu telah menunggu sajian panorama indah sebelum waktu beranjak malam.
Gadis itu mendesah kecewa. Tangan kecilnya bergerak meraih gitar di samping kursi yang tengah diduduki. Kemudian, jemarinya mulai memetik senar lantas menghasilkan bunyi menenangkan. Nada-nadanya terdengar sendu—mungkin karena senjanya tidak datang. Untuk beberapa saat, netra itu terpejam erat dengan tarikan napas memberat.
Saya ingin orang-orang bahagia.
Batin Emilia berbisik, mengalunkan doa dengan harapan semesta akan mendengar dan mengabulkan. Gadis itu tidak pernah meminta hal lain, selain keinginan agar orang-orang bisa bahagia. Sebab nyatanya, setelah mendengar segala diagnosis dari dokter, ia tak akan mampu berangan lebih daripada itu bukan?
Emilia tahu bahwa mungkin masa untuknya berpijak di bumi sudah tidak akan lama, maka dengan begitu ia berharap dapat membuat hidup siapa pun menjadi lebih berwarna sebelum dirinya tiada.
"Emilia, sebentar lagi hujan, Sayang. Ayo, kamu masuk ke kamar."
Bahunya diusap lembut oleh seseorang yang Emilia kenali dengan benar meski hanya lewat suara juga tarikan napas—Ibu. Kelopak mata gadis itu terbuka sempurna lantas irisnya menyorot Ibu secara hangat.
"Emilia belum dingin, kok, Bu. Jadi, Emilia minta waktu lebih lama lagi, ya?" pintanya dengan bibir tersenyum lebar.
Melihat binar bahagia itu, siapa yang rela hati untuk menolak keinginannya? Ibu menarik napas pelan. "Baik, tapi harus langsung masuk ke kamar kalau kamu sudah merasa anginnya kencang, ya?"
Emilia mengangguk cepat. Ia berjanji akan segera kembali ke kamar jika angin sudah tidak bersahabat dengan tubuhnya. Jari-jari tangannya berhenti memetik senar, lalu memilih untuk melambai mengiringi kepergian Ibu.
Sudut bibirnya tertarik ke atas.
Katanya, semua hanya tinggal menghitung hari, maka ketika saat itu tiba ia tak akan pernah merasakan sakit lagi. Ia akan sembuh dan berada di tempat terbaik dalam perjalanan hidup yang abadi.
"Semesta, saya boleh minta kerja samanya? Saya ingin orang-orang bahagia. Tolong bantu saya, ya?"
Kalimat itu terucap dengan sangat riang, seakan beban yang akhir-akhir ini semakin menumpuk di pundaknya telah hilang. Seakan segala kesakitan yang dinikmati olehnya tidak pernah datang.
Emilia—si gadis ceria dengan semesta yang tak henti membuatnya terluka.
***Hai!
Selamat datang di work baru.
Bagaimana kesan pertama setelah membaca cerita ini?
Semoga kamu suka, ya.
Selamat bergabung dengan dunia Emilia!
Siap petualang?
Yeay!
Terima kasih sudah membaca. Sukses selalu, orang hebat.
Salam hangat,
Sugi 💖💖
KAMU SEDANG MEMBACA
15 Days Left with Emilia
Teen FictionKatanya, semua hanya tinggal menghitung hari, maka ketika saat itu tiba ia tak akan pernah merasakan sakit lagi. Ia akan sembuh dan berada di tempat terbaik dalam perjalanan hidup yang abadi. Sebab tahu bahwa semua akan berlalu sangat cepat, malam...