BAB 2 - Together Moment

66 9 98
                                    

Bismillahirrahmanirrahim.
Semoga Allah mudahkan segala hal.

***

Jam istirahat telah berbunyi beberapa menit yang lalu. Para siswa dan siswi satu per satu mulai keluar dari dalam ruangan, berjalan antusias menuju kantin lantas membeli beberapa makanan. Membiarkan ruang kelas yang semula terasa menyesakkan, kini sedikit lengang karena sebagian besar penghuninya memilih beranjak dari sana.

Sementara itu, Emilia memutuskan untuk tetap berada di dalam kelas. Ia melangkah riang menuju samping meja guru lantas meraih spidol berwarna hitam yang tergeletak begitu saja. Kemudian, tatap gadis itu jatuh pada kalender di dinding kelas dan perlahan tangannya bergerak untuk melingkari salah satu angka di sana.

Bulan Mei masih tersisa lima belas hari lagi.

"Kamu ngapain, Emilia?"

Kalimat tanya itu terlontar untuk Emilia dan seharusnya ia langsung menjawab pertanyaan tersebut. Namun, Emilia tetap melanjutkan aktivitasnya sebelum mundur beberapa langkah dan memutar tubuh, menatap seseorang yang mengajak berbicara.

"Bulatin tanggal," jawabnya singkat.

Lawan bicaranya menaikkan sebelah alis. "Untuk apa?"

Sebenarnya Emilia sendiri tidak tahu mengapa ia melakukan hal itu. Jadi, untuk beberapa saat ia membiarkan kalimat tanya tersebut menggantung di udara. Sampai akhirnya Emilia tersenyum dan bibirnya bergerak melontarkan jawaban.

"Saya enggak punya tujuan pasti kenapa ngelakuin itu, tapi di tanggal ini dan berikutnya ...." Emilia menunjuk angka yang telah dirinya lingkari. "Saya berharap bahwa kebahagiaan akan terus mengalir dan tidak pernah terhenti."

"Dalam hidup, tidak mungkin selamanya selalu bahagia, Emilia. Ada fase di mana setiap orang yang menjalani kehidupan akan merasakan kesedihan dan hal itu wajar," kata orang itu sembari memasukkan sebagian jari-jari tangan ke dalam saku celana. "Manusia enggak akan bisa paham arti bahagia, jika tidak pernah merasa terluka."

Detik itu tatapan mereka terkunci. Emilia dapat melihat dengan jelas bagaimana pemilik alis mata tebal di hadapannya tersenyum tanpa beban. Lantas ketika jarum jam panjang mulai berpindah posisi, Emilia memutus kontak mata terlebih dahulu.

"Bagaimana dengan seseorang yang sudah terlalu banyak menanggung luka? Apakah masih ada kemungkinan bahwa ia akan merasakan bahagia?"

Orang itu, Ihsan, maju satu langkah mendekati Emilia. "Pasti, Emilia. Tuhan sudah mengatur segala aspek kehidupan sesuai dengan takarannya."

"Selama dua minggu saya pergi, kamu sudah baca berapa banyak buku milik Mario Teguh?" Emilia tertawa di akhir kalimatnya. "Ihsan jadi pintar dan bijak banget, sih! Sebagai apresiasinya, nanti saya bakalan nyanyi khusus buat kamu, deh!"

Dalam hidupnya, Ihsan pernah merasa begitu mengkhawatirkan suatu hal hingga rasanya segala aspek kehidupan mulai berantakan—ketika mamanya terbaring di rumah sakit. Ia kira semua hanya sampai di sana. Ia menduga bahwa semua perasaan menyakitkan itu tidak akan kembali dirinya rasakan, tetapi semesta dan caranya bekerja adalah rahasia.

Ihsan kembali merasakan ketakutan saat gadis disukainya pergi selama dua pekan untuk bertarung melawan penyakit yang perlahan menggerogoti tubuhnya. Selama jeda waktu tersebut, Ihsan tidak tahu harus melakukan apa selain diam-diam mendoakan kesembuhan.

Maka kini, ketika kedua netranya mampu menangkap kembali senyum dari seseorang itu, perasaannya meringan dan simpul yang semula tak henti membuat dadanya sesak perlahan mulai lepas, lantas ia bisa bernapas dengan bebas.

"Jangan sakit lagi, ya?" Ihsan menatap lekat kedua kelopak mata Emilia yang mengerjap lambat. "Saya enggak ingin kamu pergi. Jadi, tolong jaga kesehatan, Emilia."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 07, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

15 Days Left with EmiliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang