Bismillahirrahmanirrahim
Semoga Allah mudahkan segala hal.***
Selain rindu dengan suasana menjelang malam di kota Yogyakarta, sekolah adalah hal kedua yang membuat Emilia begitu mendamba untuk pulang. Maka hari ini, sebelum matahari benar-benar menampakkan diri, ia sudah duduk di dapur—menemani Ibu memasak—dengan pakaian seragam lengkap. Sementara itu, kedua matanya tak henti menatap buku tebal di pangkuan. Berkali-kali irisnya bergerak seiring berpindahnya baris kalimat yang ia baca.
Gadis itu tengah berusaha mengejar ketertinggalan dari materi yang telah disampaikan. Kadang kala ia merasa lelah, tetapi bagaimana pun juga semua memang sudah menjadi garis takdirnya, sehingga tak ada pilihan lain selain menerima dan menjalani secara lapang dada.
"Mau dianter sama Ibu atau sama Pak Sapri aja ke sekolahnya?"
Ibu yang sedari tadi sibuk menyiapkan sarapan sekaligus bekal untuk Emilia juga teman-temannya mulai angkat bicara. Tanpa menghentikan aktivitas, Ibu memindahkan sup buatannya ke dalam mangkuk cukup besar.
"Emilia tahu kalau pagi ini Ibu bakalan ada pertemuan sama klien. Jadi, Emilia berangkat sama Pak Sapri aja," ucap Emilia penuh pengertian. "Selain bakalan bikin Ibu telat, nanti juga Ibu capek karena harus bantu Emilia bawain barang-barang ke kelas. Jadi, bakalan lebih aman kalau cowok yang bawanya."
Ibu tertawa pelan. "Barang cuma segitu enggak akan bikin Ibu ngerasa berat, Emilia. Bahkan kalau Ibu harus gendong kamu sekaligus, Ibu kuat." Ia berjalan mendekati Emilia, lalu mengelus pelan pipi gadisnya. "Ibu bakalan lakukan apa pun asal kamu bahagia."
Sorot hangat yang Ibu berikan rasanya mampu membuat darah Emilia berdesir hebat. Gadis dengan rambut dibiarkan tergerai itu tersenyum lebar sembari merentangkan kedua tangan, meminta agar Ibu memberinya pelukan menenangkan. Seiring detik berganti, tubuhnya direngkuh erat.
"Ibu selalu berhasil buat Emilia bahagia. Jadi, untuk beberapa waktu ke depan, biarin Emilia yang bahagiain Ibu, ya?" pintanya tanpa melepas pelukan dan sepertinya Ibu juga belum ingin beranjak.
"Kamu enggak perlu lakukan apa pun, Emilia. Cukup ada di samping Ibu untuk waktu yang lama adalah hal paling membahagiakan. Sederhana, kan? Jadi, tolong berjanji untuk satu hal ini, ya, Emilia?"
Permintaan itu tampak sederhana, tetapi bagi Emilia adalah sebaliknya. Karena tak sanggup menjawab, ia memilih untuk semakin mengeratkan pelukan.
***
"Selamat datang kembali, Emilia!"
Sorakan itu penuh suka cita. Di ambang pintu kelas, Emilia terdiam dengan iris mata berkaca-kaca. Pada posisinya sekarang, ia bisa melihat salah satu temannya tengah berdiri sembari membawa kue dan sebagian lagi menggenggam balon berwarna-warni. Kelas yang semula hanya berhias lukisan-lukisan abstrak, kini setiap sudutnya terdapat balon dengan pita-pita panjang. Sementara itu, di papan tulis terpasang banner berukuran cukup besar bertuliskan 'Emilia Has Back!' disertai foto wajahnya.
Mereka itu punya hati seperti apa, sih? Emilia benar-benar bersyukur menjadi bagian dari kelas 12 IPA 8. Dengan sudut mata berair-menangis bahagia-gadis itu berjalan antusias mendekati teman-temannya.
"Emilia Vivian, teman kita yang paling ceria. Terima kasih karena sudah menepati janji untuk balik lagi ke sini dengan keadaan lebih baik. Sekarang, kamu harus tiup dulu lilinnya, ya!" kata ketua kelasnya—Jesie—penuh antusias.
Hati Emilia terasa diremas pelan mendengar ucapan itu. Sakit, tetapi rasanya menyenangkan. Detik berganti, tangis Emilia pecah. Ia kesulitan berhenti meski teman-temannya menyuruh agar menjeda tangisan dan meniup lilin terlebih dahulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
15 Days Left with Emilia
Teen FictionKatanya, semua hanya tinggal menghitung hari, maka ketika saat itu tiba ia tak akan pernah merasakan sakit lagi. Ia akan sembuh dan berada di tempat terbaik dalam perjalanan hidup yang abadi. Sebab tahu bahwa semua akan berlalu sangat cepat, malam...