“Kamu berbahagia, Ann?” tanya Winata sambil menatap gadis itu, ia bertanya sambil menampilkan senyum manisnya.
Gadis itu terdiam. Ia hanya menatap pantai itu dengan tenang. Namun saat mendengar pertanyaan itu, ia bingung menjawabnya.
“Seharusnya.” Jawab Ann dan membuat Winata tidak mengerti. Namun ia berusaha mencerna jawaban tersebut.
“Kenapa enggak bahagia? Bukannya orang itu yang kamu pilih?”
Ann hanya terdiam.
“Maaf aku bertanya hal yang tidak penting untuk di jawab.”
Ann menatap mata Winata.
“Kenapa aku nggak pernah bisa mencintai orang yang mencintai aku setulus ini?
Dan aku malah memilih orang yang enggan mencintaiku. Sangat bodoh bukan?”
Mereka bertatap-tatapan. Tatapan itu sangat sulit untuk di artikan. Mereka punya banyak kata-kata yang perlu dibicarakan, namun saking banyaknya, mereka bingung harus bicara apa.
“Win, pertemuan kita yang kebetulan ini, semoga membuat kamu berpikir untuk mencari wanita yang mencintaimu, yang mampu menerima diri kamu apa adanya, dan kamu menemukan wanita yang setulus kamu juga. Aku harap kamu bahagia, Win.”
Winata menatap manik mata yang berwarna coklat itu. Ia melihat cairan bening dari gadis itu yang ia tahan agar tidak keluar.
“Kita beneran nggak bisa bersama ya, Ann?”
Ia tahu kalau Win akan bertanya seperti itu.
“Win, aku nggak bisa. Udah banyak luka yang aku taruh ke hati kamu. Udah banyak waktu yang kamu sia-siakan demi aku. Kamu pasti menemukan gadis lain yang mencintaimu lebih dari apapun.”
Winata menghela napas berat.
“Bahagia ya, Ann? Jangan cuma aku yang bahagia, tapi, kamu juga. Kamu pernah bilang, ‘Mari berbahagia di jalan masing-masing.’ Aku janji, Ann, aku akan bahagia. Kamupun harus berjanji untuk bahagia ya?”
Kala itu, mereka selesai. Air laut yang menjadi saksi bahwa cinta tidak harus memiliki. Meski begitu, kita tidak boleh hidup dalam penyesalan. Maka, berbahagialah ketika Tuhan memberi kesempatan untuk bahagia.
