Aku menatap jenuh pada jalanan Gangnam yang tampak ramai pagi ini. Hampir pukul sembilan. Waktu dimana orang-orang sedang terburu-buru untuk pergi berkerja. Rupanya banyak sekali yang telah berubah dari tempat ini, salah satunya susunan pohon yang kian merapat di sepanjang jalan. Tidak seperti lima tahun yang lalu, saat semua kekacauan terjadi dalam hidupku.
Itu mengingatkanku pada Jeonghan yang dua hari tidak terlihat berada di rumah. Padahal aku selalu menunggunya untuk pulang. Sahabat sekaligus tetangga yang tidak pernah kuhubungi selama lima tahun terakhir. Jahat sekali ya jika dipikir-pikir?
Aku mendengar banyak hal tentangnya saat kepulanganku kemarin. Terutama tentang usahanya di Gangnam sejak tiga tahun terakhir. Aku berpikir itu pasti sangat sukses karena kutahu Jeonghan tidak pernah mengecewakan.
Sekarang aku malah berdiam diri tidak melanjutkan perjalanan. Padahal niatnya untuk mencari kafe milik Jeonghan yang berjarak dua blok dari rumah. Kafe besar miliknya sendiri. Sepertinya setelah aku pergi, kehidupannya menjadi jauh lebih baik. Terkadang aku merasa bahwa keberadaanku sesungguhnya cukup merepotkannya. Terbukti dengan perkembangannya setelah aku pergi.
Tapi pada akhirnya aku melanjutkan langkah. Menunggu rambu penyebrangan jalan berganti menjadi warna hijau. Apakah kalian berpikir hal yang sama, bahwa menunggu lampu penyebrangan jalan berubah menjadi hijau adalah hal yang sangat menyenangkan? Kau berjalan bersama banyak orang yang tidak mengenalimu. Itu suatu ketenangan.
Ketika aku di Chicago, tidak banyak orang yang berjalan kaki di sana kecuali di pusat kota. Seringkali aku menyempatkan diri untuk datang. Sengaja. Ingin menyebrangi jalan seperti yang biasa kulakukan. Sedikitnya kulakukan tiga kali dalam sebulan. Ketika akhir pekan, akan ada banyak orang di pusat kota.
Setiap halnya benar-benar hanya mengingatkanku pada Jeonghan. Dulu kami sering melakukan hal ini bersama-sama. Kami berpura-pura tidak saling mengenal dan menyabrang dari arah yang berlawanan. Itu semakin menyenangkan ketika kami sama-sama tertawa setelah melewati penyebrangan dan berada di ujung. Mengejek satu sama lain atas hal bodoh yang sudah kami lakukan.
Sekarang aku ingin menemuinya lagi. Meski tidak banyak harapan yang kupunya agar dia mau memaafkan semua kesalahanku di masa lalu. Sudah sangat jelas, aku pergi dan menghilang begitu saja. Tidak pernah menghubungi, atau bahkan memberinya kabar meski hanya sekali. Selama lima tahun, rasanya aku ingin berlari pergi dari sana. Menemukan kebahagiaan sesungguhnya hanya di tempat kelahiranku.
Aku menemukan sebuah kafe setelah perjalanan yang cukup panjang. Sebuah kafe yang berukuran cukup besar, berjarak sekitar sepuluh kaki dari blok kedua setelah rumah kami. Nama tempatnya semakin membuatku yakin bahwa itu milik Jeonghan. Bertuliskan Jeong's, yang ditulis dengan huruf latin.
Mereka punya dinding transparan di sisi depan gedung. Mempermudah diriku melihat ke dalam untuk mencari keberadaan Jeonghan, mungkin dia akan terlihat dari sini. Meski jika dipikirkan kembali, sulit menemukannya jika menyadari fakta bahwa Jeonghan adalah pemilik dan tidak akan ikut andil dalam urusan pelayanan. Dia akan jarang sekali terlihat berada di luar. Jadi sepertinya, mau tak mau, aku harus masuk ke dalam.
Pintunya berdenting saat aku mendorongnya. Ada ucapan selamat datang juga beserta ulasan senyum yang menyambut setiap pengunjung. Aku datang pada salah satu pegawai, mungkin bertanya adalah jalan satu-satunya.
Aku menyapa dengan sopan sebelum memulai. "Maaf. Apa aku boleh mengganggu waktumu sebentar?" dia tersenyum cerah menyambutku, yang pada saat itu kulihat tangannya sedang sibuk mengusap permukaan meja dengan sebuah kain. "Aku ingin bertanya sedikit, tentang pemilik kafe ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐈𝐍 𝐘𝐎𝐔𝐑 𝐓𝐈𝐌𝐄 [𝐉𝐎𝐒𝐇𝐔𝐀]
FanfictionSong Jia punya sedikit gambaran tentang masa depannya setelah menemui Song Jeonghan. Bahkan di hari setelah pertemuannya dengan Jeonghan kala itu, Jia kembali merasakan salju pertamanya di Korea. Lagi. Setelah lima tahun berada di Chicago. Menemuka...