Jeonghan datang dengan dua kaleng soda dan beberapa bungkus makanan. Kemarin, dia datang ke rumah dan mengajakku pergi berbelanja, tapi aku menolak. Akhirnya kami beralih ke rencana lain, aku dan Jeonghan sepakat akan pergi ke taman bermain yang tidak jauh dari rumah. Ingin sedikit bernostalgia. Tentangku dan Jeonghan yang sudah lama tidak menghabiskan waktu bersama.
Dia ikut duduk pada satu bangku panjang di taman itu. Karena salju yang masih belum berhenti turun, kami memilih berada di tempat yang teduh. "Han. Sepatumu kotor." Jeonghan memakai hoodie biru, celana jeans kebesaran, dan sepatu putih. Tapi itu terlihat kotor di ujungnya.
"Tadi aku menendang batu di sana." Sembari menunjuk tempat yang dia maksud. "Di samping pohon yang ada sepanduk kecilnya itu." Jeonghan ikut memperhatikan ujung sepatunya yang kotor.
Aku tahu Jeonghan memang sangat lincah dalam beberapa kesempatan. Tapi menendang batu kurasa terlalu berlebihan. "Kau? Menendang batu untuk apa?"
Wajahnya terlihat sangat menahan emosi. Dia menjadi sibuk untuk membersihkan ujung sepatunya yang kotor dan mengabaikanku. "Dia membuatku tersandung. Jadi aku menendangnya sekali lagi."
Sedikitpun aku tidak merasa heran. Sama sekali tidak. Kupikir semua orang yang mengenal Jeonghan akan tahu seberapa bringasnya anak ini dengan objek-objek tertentu. Terlebih, ketika itu mempersulit hidupnya. Aku menggeleng dengan samar. Kemudian meraih bungkus makanan yang dibawakan Jeonghan untukku. Berisi cemilan yang seringkali kami nikmati saat masih kecil.
Sejenak aku merasa takjub. "Bagaimana kau bisa mendapatkan ini?" tentu saja, sudah lebih dari lima belas tahun, tapi Jeonghan masih dapat menemukan makanan yang sama.
"Kau pikir kita dulu hidup di jaman apa?" dia menjadi sangat kesal denganku. Sepertinya, sepatunya yang kotor sedikit membuatnya tidak bisa menahan diri. Dan sekarang dia melampiaskannya padaku. Semua orang tahu aku sedikit lamban untuk beberapa hal. Tapi kemudian dipertemukan dengan sosok Jeonghan yang tidak punya banyak kesabaran. Mendengar sedikit pengakuan ini, seharusnya kalian bisa tahu seberapa sering aku mendapat makian darinya. "Makanan seperti itu akan terus ada selama orang-orang masih menyukainya. Seseorang masih bisa memproduksinya lagi."
Aku mengangguk karena tidak ada banyak hal yang bisa kulakukan. Setelah lima tahun rupanya Jeonghan tidak memiliki perubahan sedikitpun pada emosinya. Mungkin justru lebih parah. Sekarang bahkan dia bisa sangat emosi dengan manusia.
"Ingin bermain?" aku memberi tawaran, karena melihat alisnya yang ujungnya sangat naik membuatku takut. Dia terlihat sangat tidak ramah.
Jeonghan menggeleng. "Aku kesini karena ingin bicara banyak denganmu, Jia."
Aku sempat kaget setelah mendengar penuturannya. Biasanya Jeonghan menemuiku hanya untuk bermain-main. Tapi mungkin setelah lima tahun lamanya, dia rindu mengobrol denganku meski untuk pembicaraan yang tidak berarti.
"Baiklah." Aku tersenyum menghadap wajahnya. "Dari mana aku harus memulainya. Tapi, Han.. di Chicago aku punya taman yang sangat mirip denganmu." Mengingatkanku pada Brian, salah satu temanku yang ada di sana. Kami juga melewati waktu bersama sepanjang hari, seperti aku dan Jeonghan. "Dia selalu mengingatkanku padamu. Bedanya, orang-orang di sana tampan sekali, jadi kekonyolannya lebih mudah kumaafkan."
Kuselipkan sedikit candaan pada akhir kalimatku. Kutahu jika hanya kalimat pertama yang kuucapkan, Jeonghan akan menjadi sangat murung. Dia pasti akan merasa bersalah karena tidak bisa menemaniku di sana. "Aku tidak bisa membayangkan seberapa kacaunya hari-hariku jika menyatukan kalian di hidupku. Sepertinya, aku akan sering mengunjungi psikiater."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐈𝐍 𝐘𝐎𝐔𝐑 𝐓𝐈𝐌𝐄 [𝐉𝐎𝐒𝐇𝐔𝐀]
FanfictionSong Jia punya sedikit gambaran tentang masa depannya setelah menemui Song Jeonghan. Bahkan di hari setelah pertemuannya dengan Jeonghan kala itu, Jia kembali merasakan salju pertamanya di Korea. Lagi. Setelah lima tahun berada di Chicago. Menemuka...