Wanita Super Hero
Oleh Cut Nadiva
Entah kenapa sejak kelas tiga, aku mulai tidak menyukai Ibu. Bagaimana mau suka, jika Ibu tidak secantik dan sekeren Ibunya teman-temanku. Ibu seorang wanita kuper dan menyebalkan. Masih kuingat ketika aku diundang acara ulang tahun teman sekelasku. Ditempat pesta, kulihat Ibuku tampak kikuk dan tidak ramah seperti Ibu-Ibu yang lainnya. Itu membuatku tidak nyaman. Bisa dibayangkan, saat Ibu-Ibu lainnya ikut bernyanyi dan menari bersama anak-anak mereka, Ibu memilih duduk saja dan enggan mengajakku menari. Meski aku tahu, seandainya Ibu menari, tariannya tidak akan sebagus Ibu teman-temanku yang lain. Bagaimana mau bagus, kalau saat berjalan saja, Ibu terlihat kaku. Intinya Ibuku kampungan. Itu sangat berbalik denganku. Aku anak yang ceria, cantik dan juara kelas. Karakter ini kudapat dari Ayahku. Ya, semua yang ada di diri Ibu kebalikan dari Ayah. Ayahku adalah lelaki tampan, energik, pintar dan Ayah seorang pengusaha sukses.
Selain itu, Ibuku berwajah biasa saja, tidak secantik diriku yang mewarisi fisik seperti Ayah. Berbeda dengan kakakku Lifia yang lebih dekat dengan Ibu, aku memilih lebih dekat dengan Ayah. Ya karena aku ‘kan mirip Ayah, sedangkan kakak memang mirip Ibu. Dan satu lagi, diantara Ibu-Ibu lainnya, Ibuku lebih tua. Ya, umur Ibuku memang sudah tidak muda lagi. Sementara Ayah usianya jauh lebih muda dari Ibu, itu kata Ayah.
Aku dan kakakku memiliki jarak usia yang jauh juga, saat ini kak Lifia berusia tujuh belas tahun sementara aku masih delapan tahun.
Sebenarnya ketika aku kecil aku tidak sebenci itu pada Ibu. Karena Ibu wanita yang lembut dan perhatian. Aku puas digendong kemana-mana oleh Ibu, bahkan sampai saat ini, jika aku mogok makan, akan dengan senang hati Ibu menggendongku pakai kain sambil menyuapi makanan.
Walau begitu, Ayah sangat menyayangi Ibu.
“Tahukah kalian, Nak. Ayah sangat sayang kalian. Ayah juga sangat menyayangi Ibu kalian. Kita saling menjaga, ya. Kalau Ayah kerja, kalian harus nurut sama Ibu.” Itu pesan yang sering Ayah sampaikan kepada kami sebelum Ayah bepergian ke luar kota.
Suatu hari kelasku ada kegiatan belajar di alam terbuka. Pukul setengah enam pagi, Ibu membangunkanku untuk bersiap berangkat sekolah. Ibu sudah menyiapkan air hangat untuk mandi. Seperti biasa, pakaian seragam, sepatu yang telah disemir, juga sarapan telah Ibu persiapkan sejak aku belum bangun.
Kami semua berangkat bersama dengan naik bis sekolah bersama Ustadzah-Ustadzah, begitu kami menyebut guru-guru kami. Menurut Ustadzah, para orang tua boleh ikut jika mau, dengan menggunakan kendaraan berbeda. Beberapa Ibu-Ibu dari temanku memutuskan ikut, karena tempat yang kami tuju adalah sebuah danau yang sangat indah, mungkin Ibu-Ibu kami akan berwisata sembari mengawasi kami.
Sesampainya disana, Kami semua senang karena prosesi belajar kali ini diselingi dengan permainan seru dan menantang. Seperti mengumpulkan daun dan bunga untuk mengenal lebih dekat tetumbuhan. Mengambil air di tepian danau dengan botol minuman untuk mengenal lebih dekat benda cair, dan banyak lagi kegiatan belajar lainnya.
Kulihat para Ibu-Ibu mengawasi kami dari kejauhan sembari berswafoto bersama. Tentu saja lagi-lagi Ibuku hanya jadi wanita penyendiri, tidak ikut berfoto, hanya mengamati, atau sesekali malah yang mengambilkan foto. Entah apa yang Ibu lakukan dengan hanya berdiam diri. Sepertinya Ibu lebih menyukai mengamati pemandangan sekitar, dan sesekali tentu saja mengawasiku. Huh! Ibu masih saja membosankan dan menyebalkan bagiku.
Tiba saatnya aku dan teman-teman beristirahat. Oleh Ustadzah kami diperbolehkan membeli jajanan yang dijual di area danau, asal yang tidak membuat batuk.
“Aduh, aku lupa membawa uang jajan!” seruku.
“Adek, lupa bawa uang jajan, ya? Nih Ibu sudah bawakan bekal untukmu.” Ibu menyerahkan minum dan bekal makan untukku.