Bagian 2

187 23 1
                                    

Seusai makan malam keduanya mengerjakan tugas bersama. Terbilang sudah empat puluh lima menit berlalu mereka bergelut dengan soal-soal matematika yang luar biasa susahnya. Sialnya tugas tersebut berjumlah sepuluh nomor dan harus di kumpul besok.

Kurang apes apalagi mereka ini?

"Gila! Hampir sejam tapi yang selesai baru satu nomor!" keluh Lia mengacak rambutnya frustasi. Ia mendorong bukunya menjauh. Kepalanya sudah pusing melihat melihat deretan angka dan rumus.

Ia melirik Hanum yang masih berjuang, sesekali memijat keningnya. Sepertinya gadis itu mulai kelelahan, pikir Lia.

Benar saja, belum ada sepuluh detik keadaan buku Hanum sudah seperti miliknya. Lia terkekeh pelan, "Kenapa?" Padahal sudah tahu jawabannya tetapi masih bertanya juga. Dasar.

"Otak gue ngebul, asli yang nyiptain rumus ini siapa sih?" gerutunya kesal. "Ini juga yang bikin soal apaan banget, soalnya angka yang ditanyain huruf! Mana banyak banget lagi." Satu soal saja sudah bikin otaknya melepuh, bagaimana dengan sembilan soal lainnya?

Sungguh, Hanum benci matematika.

Keduanya terdiam, mengistirahatkan otak masing-masing. Berpikir itu juga melelahkan, butuh tenaga.

Sepuluh menit berlalu Hanum membuka suara, "Li, minta contekan sama ketua kelas dong. Dia kan pintar tuh!" usulnya menoleh menghadap Lia.

"Kok gue?"

"Dia kan naksir sama lo. Ayolah daripada kita dihukum. Mau lo?"

Sontak Lia menggeleng. Hukuman pak Cahyo tidak main-main. Pernah sekali ia lupa bawa buku tugasnya, padahal sudah mengerjakan tapi tetap saja dihukum. Parahnya hukumannya itu mengerjakan soal logaritma, dan itu susahnya minta ampun. Lia kapok, dan sejak saat itu ia selalu mengecek tasnya sebelum berangkat sekolah.

"Ya udah deh, bentar gue chat dulu."

Tak sampai sepuluh deti sudah ada balasan. Wow, fast respon sekali.

"Katanya nanti dia kirim kalau udah kelar. Kayaknya masih ngerjain sih."

Senyum lebar terukir di bibir tipis Hanum. Licik memang memanfaatkan orang lain, tapi mau bagaimana lagi ini demi keselamatannya dan Lia.

Sembari menunggu kiriman jawaban dari sang ketua kelas, mereka saling mengobrol hal yang tidak penting. Sesekali terjadi adu mulut karena mendebatkan sesuatu yang tidak penting. Seperti lubang sedotan memiliki berapa lubang. Tidak berfaedah sekali.

"Oh iya gue boleh tanya sesuatu gak?" tanya Lia setelah kalah argumen dengan Hanum.

"Apa?"

"Janji lo gak bakal marah?"

Hanum melirik sekilas, lalu mengangguk.

"Kok gue gak pernah lihat ada foto bokap lo di rumah ini?" tanyanya hati-hati. Setiap berkunjung ia selalu memperhatikannya dan sudah lama ingin bertanya tetapi tak punya nyali untuk itu. "Kalau lo gak mau jawab gak apa-apa kok. Anggap aja gue gak pernah nanya," lanjutnya melihat Hanum tak memberi tanda-tanda untuk menjawab.

Dalam hati Lia merutuki dirinya yang tak bisa menahan rasa penasarannya. Sampai detik ini Hanum masih enggan bersuara. Gadis itu hanya memandangi langit-langit kamar dengan tatapan kosong.

"Han..." panggil Lia mulai panik.

"Gue... Gue juga gak tahu." Akhirnya Hanum membuka suaranya setelah terdiam beberapa menit. Raut wajahnya berubah sendu, "Kayaknya mama buang semua foto papa," lirihnya pelan.

Selama tujuh tujuh belas tahun Hanum hidup ia tak pernah melihat ataupun bertemu dengan sang Papa. Bahkan tahu bentuk mukanya saja tidak. 

Terkadang Hanum menggeledah kamar sang mama guna mencari sesuatu mengenai papanya meski tak menemukan apa-apa. Mama seakan menutup rapat-rapat tentang mantan suaminya tersebut. Tak sopan memang, tapi Hanum benar-benar penasaran siapa dan seperti apa sosok papa.

Brother || Haechan ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang