PROLOG

14 4 2
                                    

Pria itu memelukku yang tengah menangis histeris. Aku meronta, berusaha melepaskan kungkungan badannya yang kini, tidak lagi terasa hangat. Dia terasa asing bagiku.

"I'm sorry! I have to do this!"

Aku menggelengkan kepala berulang kali.

Tidak!

Dia tidak harus melakukannya. Ini hanya karena keinginannya yang absurd. Dia sama sekali tidak memiliki keharusan untuk berbuat itu.

Aku mendorongnya paksa, hingga akhirnya pria itu melepaskan pelukannya, walaupun tetap mengurungku dengan kedua tangan yang ditempelkan di sisi kanan kiri tubuhku.

Aku terhimpit di tembok kamarnya. Kepalaku terangkat, mataku menatap matanya yang kehijauan, terlihat putus asa. Aku bisa merasakan bahwa dirinya sama sekali tidak merasa bersalah atas kejadian ini. Dia hanya takut aku tinggalkan.

"Kamu tidak berubah Xav ... kamu melanggar janjimu, Xavier," ucapku lirih, lalu air mataku kembali jatuh.

Xavier-pria itu- menggenggam tanganku, lalu menciumnya sambil memejamkan mata.

"Aku mencintaimu, Ara."

Aku menyentakkan tangannya lalu menatapnya penuh amarah, "itu bukan kalimat yang inginku dengar, Xavier Atlanta!" teriakku.

Xavier terdiam. Ia sedikit mundur dan menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Jadi, kau akan meninggalkanku?" tanyanya.

Aku berjalan mendekatinya, mengurung wajahnya yang begitu tampan dengan kulit putih, mata hijau, dan rambut hitamnya dengan kedua tanganku.

Perlahan, tanganku mengelusnya, bersamaan dengan wajah yang kian mendekat. Semakin ku kikis jarak diantara kami, hingga aku dapat mencium bibirnya sebentar namun mampu membuat pria itu menutup mata.

Ciuman ku lepas saat aku merasa dia semakin menuntutku untuk melakukannya semakin dalam.

"Jika saja kau tidak merenggut nyawa mereka, aku mau memberimu kesempatan, Xav. Sudah kukatakan aku mencintaimu. Aku percaya kau bisa berubah, tapi ... yang kau lakukan kali ini tidak bisa aku terima. Sorry Xavier, but I have to do this." Suaraku lirih. Bahkan hampir terdengar seperti bisikkan.

Dengan pelan dan tanpa Xavier sadari, aku merogoh saku celana yang kupakai. Kekeluarkan sesuatu dari sana lalu,

'DOR!!'

Malam itu, suara tembakkan terdengar, dan aku luruh di depan Xavier yang menatapku kosong. Di tengah kesadaranku yang kian terenggut, Xavier menahan tubuhku agar tidak jatuh ke lantai, kemudian pria itu meraung keras seolah menyalahkan seluruh dunia atas hal ini.

...
To be continued
...

Regard,
Macaron

Psycho DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang