01 • Mula

21 5 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Pfftt, masih optimis cari kerja kamu? Dengan cuma modal ijazah SMA-mu itu?"

Nyinyiran itu lagi.

Nampak teramat muak untuk didengar gadis berusia sembilan belas tahun bersemat asma Arla yang kini tengah memakai sepatu pantofelnya. Dirinya bangkit, tak mengindahkan cerocosan orang yang bahkan tak sudi ia sebut sebagai salah satu kerabatnya itu. Membuka pagar rumah lantas meninggalkan pelataran dengan tas bertengger di pundak.

"Semangat, ya! Semoga cepet keterima biar nggak usah jadi beban terus," teriak wanita tersebut tatkala Arla sudah menjauh. Dihembuskannya napas gusar. Jika bisa ingin sekali dirinya melempar bebatuan yang ia pijak pada wajah si wanita, namun itu hanya akan mempersulit hidupnya.

Arla mencoba mengembalikan mood-nya yang sempat hancur dengan menanggalkan earphone di telinga. Mendengarkan lagu yang ceria sembari menanti kedatangan bus mungkin adalah pilihan terbaik.

Selang tiga lagu sudah dimainkan, bus tujuannya kini sudah berhenti tepat di hadapan halte. Karena tak suka berdempet-dempetan, dia memilih untuk masuk belakangan. Tak masalah jika tak kebagian bangku, toh yang penting dia tetap bisa masuk.

Kala ingin memijakkan kaki pada tangga bus, entah kenapa nalurinya berkata seperti ada pasang mata yang sedang memerhatikannya. Sontan kepalanya tertoleh ke arah kanan, mendapati sekitar sepuluh meter dari tempatnya berdiri, Arla melihat seorang pemuda dengan pakaian sangat tertutup—menggunakan masker, kaca mata, dan topi serba hitam—menatap ke arahnya lurus.

Arla mengernyit, 'Dia ngeliatin gue?'

"Mbak, mau masuk nggak? Busnya mau jalan, nih," teguran seorang supir bus menyadarkan Arla dari kebingungannya. Dia pun gelagapan dan mengangguk, segera masuk ke dalam bus.

Untungnya masih ada tempat duduk tersisa karena pagi ini ternyata tak begitu ramai. Arla duduk di dekat jendela. Dari dalam dia masih bisa memerhatikan pria itu setia berdiri dan menatapnya. Sedari tadi ternyata pemuda tersebut mengikuti arah gerak Arla.

Sumpah Arla merinding. Dialihkan pandangannya menatap lurus ke depan.

Namun tetap saja rasa penasaran mendominasi. Kala bus mulai melaju, dirinya sempat melirik ke arah jendela lagi.

Dan pemuda tersebut, ikut menolehkan pandangannya. Menatap dirinya dari luar sampai bus hilang di balik tikungan.






















 Menatap dirinya dari luar sampai bus hilang di balik tikungan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.






















"HAHAHAHA! Anjir lah, nggak keterima lagi awokawok." Arla keluar dari gedung tempat dirinya melamar kerjaan yang kesekian. Menertawakan dirinya lagi yang sudah beberapa kali melamar ke perusahaan satu ke yang lain, namun tetap semua hasilnya nihil. Mungkin lebih tepatnya menertawakan semesta yang terus ingin bercanda dengan dirinya.

Dia membuka dompetnya. Lalu kembali tertawa. Persetan dengan masa yang menatapnya gila karena tertawa sendiri di tengah jalan. Lagian dia pun tak akan protes.

Tungkainya ia langkahkan ke arah tukang jualan es krim di taman dekat gedung yang tadi dia masuki. Membeli satu porsi es krim rasa vanila kemudian duduk di kursi taman. Dirinya menyantap es krim tersebut dengan mata yang menatap lurus orang-orang tengah bersenang-senang di taman. Banyak keluarga yang tengah tertawa ria, anak-anak yang berlarian dengan teman sebayanya, bahkan insan-insan yang tengah menjalin kasih.

Mereka terlihat bahagia. Menikmati hidup menganggap semesta sedang berpihak kepada mereka. Dia pun pernah merasakannya. Menjadi gadis paling bahagia yang disayang penuh oleh kedua orang tuanya. Menghabiskan waktu-waktu riang bersama bagai rutinitas wajib.

Tidak sampai sebuah insiden merenggut semua kata bahagia dalam hidupnya.

Di tengah tenggelamnya Arla dalam kenangannya sendiri tak terasa air matanya menetes. Ah, cengeng.

Diusapnya air mata yang keluar tanpa izin itu sembari tertawa kecil, "Duh, kasian amat, ya, hidup gue."

Dirasa dia sudah cukup membuang waktu hanya untuk duduk sendirian di kursi taman, Arla bangkit. Meninggalkan lokasi dan ingin kembali ke halte bus.

Namun di tengah perjalanan, pemuda dengan pakaian serba hitam yang dilihatnya tadi pagi nampak kembali di hadapannya yang berjarak lima meter. Lalu ketika mendapati Arla telah melihatnya, pemuda itu tiba-tiba berlari melewati tikungan entah ingin ke mana.

Arla yang penasaran dan ingin tahu maksud pemuda tersebut menampakkan lagi pribadinya di depan dirinya pun tanpa pikir panjang mengikuti jejak si pemuda.

Sampai dirinya berada di sebuah gang di tengah kota yang suasannya sunyi, Arla sudah tak tahu ke mana arah laki-laki tersebut berada. Dirinya diam sesaat menatap sekitar dan tak ada siapa pun selain bayangannya sendiri. Dia sudah merasa ketakutan, mungkin ini akal-akalan si pria untuk...

Ah, tidak ingin berpikir terlalu macam-macam, Arla berbalik badan ingin pergi dari gang tersebut.



































Tidak sampai seseorang membekap hidung dan mulutnya dengan kain sampai ia ambruk tak sadarkan diri.


Tidak sampai seseorang membekap hidung dan mulutnya dengan kain sampai ia ambruk tak sadarkan diri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kidnapping ; JakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang